Selasa, 19 Januari 2016

Hukum Berdiam di Masjid Bagi Wanita Haidh


Hukum Berdiam di Masjid Bagi Wanita Haidh

Oleh: Abu Mujahidah Al-Ghifari, M.E.I

Wanita dalam Islam sangat dimuliakan. Surat an-Nisa yang berarti wanita dalam al-Qur’an salah satu bukti bahwa Islam memberikan perhatian khusus untuk wanita. Secara umum hukum-hukum di dalam Islam untuk orang-orang beriman, baik laki-laki maupun wanita. Jika terdapat hukum khusus untuk laki-laki atau wanita maka Islam telah memberikan penjelasannya. Salah satu kekhususan wanita dan memiliki hukum khusus adalah haidh.

Diantara hukum terkait dengan haidh adalah hukum berdiam di dalam masjid ketika sedang haidh. Mayoritas ulama mengqiyaskan apa-apa yang dilarang bagi seorang yang junub maka dilarang pula bagi yang sedang haidh.

Alloh Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 43:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian sholat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kalian mandi.” (QS. al-Nisa: 43)

Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang junub diharamkan berdiam di dalam masjid hingga dia mandi dari junubnya kecuali jika sekedar melewatinya. An-Nawawi rohimahulloh berkata dalam kitab minhaj at-Tholibin, “Diharamkan bagi haidh apa-apa yang diharamkan bagi junub.” Ibn Qudamah rohimahulloh berkata dalam kitab al-Mughni, “Dilarang berdiam di dalam masjid dan thawaf di ka’bah karena haidh satu makna dengan junub.” Jadi, ulama yang berpendapat melarang wanita haidh berdiam di dalam masjid karena meng-qiyaskan haidh dengan junub.

Dalil lain yang digunakan oleh ulama yang melarang wanita haidh berdiam di dalam masjid adalah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab sunannya:

Dari Aisyah rodhiallahu anha, beliau berkata bahwa Rosulalloh shollallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya saya tidak halalkan masjid bagi wanita haidh dan orang junub.” (HR. Abu Dawud No.232)

Hadits di atas didho’ifkan oleh al-Bani rohimahulloh dalam kitab Dho’if Sunan Abu Dawud dan dalam Irwa al-Gholil No.193. Sebab dho’ifnya hadits ini adalah karena di dalam sanadnya terdapat Jasrah ibn Dijajah yang didho’ifkan oleh al-Bukhori dan al-Bahaqi memberikan isyarat akan kedho’ifannya. Al-Baihaqi rohimahulloh berkata, “Dan hadits ini jika shahih maka diterapkan pada junub yang berdiam di dalam masjid bukan lewat dengan landasan dalil al-Qur’an.” (Irwa al-Gholil al-Bani, hlm.210)

Al-Kasani rohimahulloh seorang ulama mazhab Hanafi menjelaskan hukum yang dilarang bagi wanita haidh dan nifas, beliau berkata, “Adapun hukum haidh dan nifas yaitu tidak diperbolehkan shalat, puasa, membaca al-Qur’an, memegang mushaf kecuali dengan sampul, masuk masjid dan thawaf di ka’bah.” (Bada’i al-Shana’i 1/163)

Ibn Rusd rohimahulloh seorang ulama mazhab Maliki dalam kitab Bidayah al-Mujtahid yang membahas fikih lintas mazhab, beliau menjelaskan bahwa perselisihan pendapat ulama terkait hukum berdiam di masjid bagi wanita haidh sama dengan orang yang junub: Ada yang mengharamkan secara mutlak yaitu mazhab Malik. Ada juga yang melarang kecuali hanya lewat saja yaitu mazhab al-Syafi’i. Dan ada juga yang membolehkan semuanya baik diam maupun lewat yaitu mazhab Dawud. (Lihat, Bidayah al-Mujtahid, hlm.57-58)

Dalam kitab fikih Asy-Syafi’i disebutkan bahwa apa-apa yang diharamkan bagi orang junub diharamkan pula bagi wanita haidh. Maka, hukum berdiam di dalam masjid tidak dibolehkan bagi wanita haidh. Hanya saja ulama mazhab Syafi’i berbeda pendapat bagi wanita haidh yang aman dari mengotori masjid seperti menggunakan pembalut dibolehkan atau tidak melewati masjid. Yang tepat adalah dibolehkannya melewati masjid jika aman sebagaimana junub boleh jika sekedar lewat. Dan jika tidak aman yaitu akan mengotori masjid maka diharamkan. (Lihat al-Siraj al-Wahaj Hlm.34 dan Kifayah al-Akhyar 1/114)

Muhammad ibn al-Khotib al-Syarbini rohimahulloh menjelaskan alasan diharamkannya wanita haidh melewati masjid jika dikhawatirkan mengotori masjid, beliau berkata:

Sebagai bentuk penjagaan masjid dari najis. Dan jika aman maka boleh baginya melewati masjid sebagaimana orang junub, akan tetapi hukumnya makruh sebagaimana dalam kitab al-Majmu. (Mughni al-Muhtaj 1/153-154)

Beliau juga menjelaskan hukum tersebut sama pada setiap yang dikhawatirkan najisnya seperti bagi orang yang sedang tertimpa penyakit beser, istihadhoh dan orang yang sandalnya terkena najis basah.

Al-Ghozali rohimahulloh berpendapat bahwa berdiam di dalam masjid hukumnya haram, sedangkan jika sekedar melewati maka dibolehkan jika aman dari mengotori masjid. (al-Wajiz fi Fiqhi Mazhab al-Imam al-Syafii, Hlm.23)

Muhammad Az-Zuhri al-Ghomrowi rohimahulloh berkata, “Diharamkan melewati masjid jika dikhawatirkan mengotorinya. Yaitu darah haidh yang mengenainya. Jika tidak dikhawatirkan maka dibolehkan baginya melewati masjid sebagaimana junub.” (Umdah al-Salik Hlm.45)

Dari penuturan ulama mazhab Asy-Syafi’i, dapat disimpulkan bahwa berdiam di dalam masjid di haramkan. Sedangkan jika sekedar melewatinya dibolehkan jika aman dari kemungkinan terjatuhnya darah haidh, dan jika tidak aman maka diharamkan.

Dalam kitab fikih Hambali al-Uddah syarh al-Umdah disebutkan bahwa ada sepuluh yang tidak diperbolehkan bagi wanita haidh, salah satunya adalah berdiam di dalam masjid. Ibn Qudamah rohimahulloh menerangkan dalam kitab al-Mughni bahwa orang junub, haidh dan orang yang selalu berhadats tidak diperkenankan berdiam di dalam masjid. Akan tetapi diperbolehkan melewati masjid untuk suatu keperluan seperti hendak mengambil sesuatu atau memang jalan yang harus dilewati adalah masjid.

Muhammad ibn Sholih al-Utsaimin rohimahulloh berkata:

Seorang wanita yang haidh tidak boleh berdiam di dalam masjid. Adapun sekedar melewati masjid maka tidak mengapa dengan syarat aman dari mengotori masjid disebabkan darah yang keluar.” (Majmu Fatawa wa Rosa’il 1/273)

Dari pemaparan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa jumhur ulama ahli fikih mengharamkan berdiam di dalam masjid bagi wanita haidh sebagaimana diharamkan bagi seorang yang junub kecuali jika hanya sekedar lewat. Diantara ulama salaf yang membolehkan melewati masjid untuk suatu kebutuhan adalah ibn Mas’ud, ibn Abbas, ibn al-Musayyab, ibn Jubair, al-Hasan, Malik dan al-Syafii rahimahumullah.

Sebagian ulama yang lain seperti Abu Muhammad ibn Hazm rohimahulloh dan Dawud rohimahulloh membolehkan bagi wanita haidh berdiam di dalam masjid. Musthofa al-Adawi seorang ulama kotemporer memperkuat pendapat ini dengan alasan tidak adanya dalil shahih yang melarang wanita haidh masuk masjid dan tidak diterimanya qiyas haidh dengan junub karena orang yang junub bisa bersuci kapan saja yang dia kehendaki, sedangkan wanita haidh tidak bisa. (Jami Ahkam al-Nisa, hlm.45-51)

Dengan demikian, maka masalah ini memang masalah yang diperselisihkan oleh ulama, dan jumhur ulama mengharamkan wanita haidh berdiam di dalam masjid. Adapun, yang lebih selamat adalah tidak duduk-duduk di dalam masjid bagi wanita haidh sebagai bentuk kehati-hatian dan keluar dari perselisihan pendapat. Jika memang ada kebutuhan seperti menghadiri kajian maka sepertinya cukup di luar masjid seperti di teras karena sekarang sudah terdapat sound system yang bisa mengantarkan suara terdengar dari luar masjid.

Allohu Ta’ala A’lam

Andre Tauladan | Fajrifm

Jumat, 01 Januari 2016

The success of Man in Dawah

By : Abu Waleed UK

 
The Success of the Man in Dawah for the sake of Allāh, calling for the Haq and confronting all false ideological ideas today requires a likeminded spouse in his corner for him to be successful, what advise can we give to such sisters, remember this is not for anyone, not for the wives of bank managers etc, but a unique individual and for them is a unique partner.

For them is the following examples amongst many which We could of made;

Make Khadeejah (ra) your example and leading role model who was a strong right hand for her husband and a firm gentle touch to our Messenger which enabled him to carry his message to mankind. Khadeejah supported him, believed in him, covered him and said to him her famous statement: ‘By Allaah! Allaah will never let you down because you are the one who maintains the blood relationship, carry heavy responsibilities, help the needy, support the weak, command the good and forbid the evil and challenge all the corruption in society.’

Wake up in the night time and throw the arrows of the dark night at sehri time by supplicating to your Lord and ask him to protect your husband and all the daa’ies and to make them firm, victorious, have ‘izzah and support.

Keep yourself busy by nurturing the children of your husband, provide the best knowledge and good deeds that makes them full of taqwaa and Eemaan and plant in them that the conviction their father stands for is the truth, and encourage them to do the same thing as their father.

Dear Muslim sisters, if your husband is a daa’ie be proud that your husband carries the truth and be confident that the banners of Haq he carries will never fall down even if he does.

Andre Tauladan

Sabtu, 12 Desember 2015

Sifat-sifat Hijab Syar’iy

Sifat-sifat Hijab Syar’iy

Alih Bahasa: Abu Sulaiman Al Arkhabiliy

(download dalam bentuk selebaran format pdf di sini)

Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya. Amma Ba’du:

Sesungguhnya wanita muslimah telah mendapatkan kedudukan yang tinggi di dalam Islam, dan syari’at yang hanif ini telah memperhatikannya dengan perhatian yang lebih khusus lagi menjamin baginya gar terjaga kesuciannya, di mana Allah Ta’ala telah mewajibkan atasnya untuk berhijab (menutupi diri) dari pria lain demi menjaga kemuliaannya dari noda keburukan. Dan Allah Ta’ala telah menetapkan syarat-syarat bagi hijab ini yang harus dipenuhi semuanya supaya menjadi hijab yang syar’iy, sehingga bila SALAH SATU dari syarat ini tidak terealisasi maka hijab itu bukan hijab syar’iy dan tidak diridloi oleh Allah Ta’ala.
Apakah syarat-syarat hijab wanita muslimah itu?

Syarat-syarat (sifat-sifat) hijab syar’iy wanita muslimah itu ada delapan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama:

Syarat Pertama: Ia itu harus tebal yang tidak menampakkan bayangan apa yang ada di baliknya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صنفان من أهل النار لم أرهما بعد : رجال معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس ، ونساء كاسيات عاريات مائلات مميلات على رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة ، لا يدخلن الجنة ولا يجد ريحها ، وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا ” رواه أحمد ومسلم في الصحيح

“Dua macam penghuni neraka yang belum aku lihat, kaum yang membawa cemeti bagaikan ekor-ekor sapi yang dengannya mereka memukuli manusia, dan para wanita yang berpakaian tapi telanjang, yang membuat (orang lain) menyimpang (dari kebenaran) lagi miring (kepada keburukan), kepala-kepala mereka itu bagaikan pundakan-pundakan unta yang miring, para wanita itu tidak masuk surga dan tidak mendapatkan wanginya, padahal sesungguhnya wangi surga itu didapatkan dari jarak segini dan segitu.” (Riwayat Muslim).

An Nawawiy berkata: Hadits ini adalah tergolong mu’jizat kenabian, di mana dua macam orang ini telah telah terjadi – dan keduanya ada sekarang -, dan di dalam hadits ini terdapat celaan bagi dua macam orang ini. Sedangkan makna “Kaasiyaat” adalah wanita menutup sebagian badannya dan membuka sebagian yang lain, dan ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah dia memakai pakaian yang tipis yang menampakkan warna kulit badannya.”(Syarah Shahih Muslim).

Syarat Kedua: Hijabnya itu harus lebar lagi tidak sempit.

قال أُسامة بن زيد: ((كساني رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قبطيةً كثيفة مما أهداها له دحية الكلبي، فكسوتها امرأتي، فقال: مالك لم تلبس القبطية ؟ قلت: كسوتها امرأتي، فقال: مُرها فلتجعل تحتها غلالة، فإني أخاف أن تصف حجم عظامها )) أخرجه أحمد

“Di mana telah diriwayatkan dari Usamah Ibnu Zaid radliyallahu ‘anhu, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan pakaian kepadaku berupa kain qibthi yang tebal – yang mana ia itu di antara bagian yang dihadiahkan Dihyah Al Kalbiy kepadanya- maka sayapun memberikan kain itu kepada isteri saya sebagai pakaian, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada saya: Kenapa aku tidak melihatmu memakai kain qibthiyyah itu? Maka saya berkata: Wahai Rasulullah saya telah memakaikannya kepada isteriku,” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Suruhlah isterimu memakai ghilalah (rangkapan), karena aku khawatir kain itu menampakkan lekuk tulangnya.” (Riwayat Ahmad dan dihasankan oleh Al Arna-uth).

Qubthiyyah adalah semacam pakaian yang berasal dari Qibthi Mesir.
Ghilalah adalah pakaian yang dipakai sebagai rangkapan bagi pakaian lain.
Asy Syaukaniy berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa wanita itu wajib menutupi seluruh badannya dengan pakaian yang tidak membentuk lekuk badannya, dan ini adalah syarat menutupi aurat.” (Nailul Authar).

Syarat Ketiga:Hijab itu menutupi seluruh anggota badan termasuk wajah dan kedua tapak tangan.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Al Ahzab: 59).

Di dalam ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memerintahkan semua wanita, dan memulai dengan memerintahkan isteri-isterinya dan puteri-puterinya karena kemuliaan mereka dan dikarenakan mereka adalah para wanita yang lebih berhak daripada yang lain, untuk menutupi wajah-wajah mereka dengan mengulurkan jilbab-jilbab dari atas kepala mereka. Sedangkan JILBAB adalah adalah kain yang dipakai sebagai rangkapan luar pakaian berupa rida (kain untuk badan bagian atas), izar (kain untuk badan bagian bawah) dan kerudung serta yang serupa itu. (Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir As Sa’diy).

Syarat Keempat: Hijab itu tidak boleh yang merupakan pakaian ketenaran.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ) . رواه أبو داود)

“Barangsiapa memakai pakaian ketenaran di dunia maka Allah memakaiakan kepadanya pakaian kehinaan di hari kiamat kemudian Dia menyalakan api padanya.” (Diriwayatkan Abu Dawud dan yang lainnya serta dinilai hasan oleh Al Mundziriy).

Maksud pakaian ketenaran adalah pakaian yang mengundang keheran-heranan orang lain atau dianggap buruk oleh manusia (yang muslim tentunya, pem), atau dengan ungkapan lain ia adalah: pakaian yang menyebabkan pemakainya menjadi bahan olok-olokan dan perbincangan manusia, karena keanehan warnanya, sifatnya, atau cara menjahitnya. Dan pakaian ketenaran ini bisa berbeda-beda antara satu zaman dengan zaman lainnya dan antara satu tempat dengan tempat lainnya, di mana bisa saja manusia pada zaman tertentu menganggap suatu pakaian itu sebagai pakaian ketenaran namun di zaman lain mereka tidak menganggapnya demikian, dan bisa saja di suatu negeri pakaian itu dianggap sebagai pakaian ketenaran namun di negeri lain tidak dianggap demikian, sesuai dengan adat kebiasaan.

Syarat Kelima:Tidak boleh menyerupai pakaian wanita kafir.

Di mana di antara landasan paling penting dien ini adalah menyelisihi orang-orang kafir dan kaum musyrikin, dan landasan pokok ini ada lagi bagu di dalam Al Kitab dan As Sunnah Ash Shahihah, di antaranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdullah ibnu ‘Amr Ibnu Al ‘Ash radliyallahu ‘anhu di saat ia mengenakan dua pakaian yang mu’ashfar (yang dicelup warna merah):

إن هذه من ثياب الكفار فلا تلبسها ) رواه مسلم)

“Sesungguhnya ini adalah termasuk pakaian orang-orang kafir, maka jangan kamu memakainya.” (Riwayat Muslim).

Di antara pakaian para wanita kafir adalah apa yang dipakai oleh para wanita Nashrani, Yahudi, Sekuler dan Paganis.

Syarat Keenam: Tidak boleh menyerupai pakaian kaum pria.

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, berkata:

(وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال: “لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الرجل يلبس لبسة المرأة والمرأة تلبس لبسة الرجل” . (رواه أبو داود

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pria yang memakai pakaian wanita, dan (melaknat) wanita yang memakai pakaian pria.” (Riwayat Abu Dawud dan yang lainnya, dan dishahihkan oleh Asy Syaukaniy dan Al Hakim serta Adz Dzahabiy mengakuinya).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ليس منا من تشبه بالرجال من النساء و لا من تشبه بالنساء من الرجال “

“Bukan termasuk golongan kami wanita yang menyerupai kaum pria dan pria yang menyerupai kaum wanita.” (Riwayat Ahmad dan dishahihkan oleh Al Arna-uth).

Syarat Ketujuh: Ia itu tidak boleh mengandung hiasan (motif) yang menarik perhatian

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ

“Dan janganlah mereka itu menampakkan perhiasan mereka” (An Nur: 31).
Dan firman-Nya Ta’ala:

وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ

“Dan janganlah kalian bertabarruj seperti tabarrujnya wanita jahiliyyah pertama” (Al Ahzab: 33).

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ثلاثة لا تسأل عنهم رجل فارق الجماعة وعصى إمامه ومات عاصيا وأمة أو عبد أبق فمات وامرأة غاب عنها زوجها قد كفاها مؤنة الدنيا فتبرجت بعده فلا تسأل عنهم

“Tiga macam orang yang jangan ditanyakan tentang (nasib) mereka: orang yang meninggalkan jama’ah dan maksiat kepada imamnya serta mati dalam keadaan maksiat, hamba sahaya baik pria maupun wanita yang melarikan diri dari tuannya terus ia mati, dan wanita yang ditinggal pergi suaminya sedangkan si suaminya telah memberikan kecukupan kebutuhan dunia, terus ia malah tabarruj setelah suaminya pergi, maka jangan engkau tanyakan tentang (nasib) mereka.” (Riwayat Ahmad dan dishahihkan oleh Al Haitsamiy dan Al Anauth).

Bila ternyata hijab si wanita ternyata mengandung hiasan (corak/motif), maka ia itu tidak disebut hijab (syar’iy), karena sesungguhnya alasan dalam pensyari’atan hijab itu adalah pelarangan penampakan hiasan kepada pria lain, sehingga tidak masuk akal-lah kalau hijabnya itu malah merupakan hiasan! MAKA WAJIB atas wanita muslimah yang ingin merealisasikan syarat ini agar dia memperhatikan pakaiannya supaya kosong dari MOTIF HIASAN APAPUN dan hendaklah warnanya itu tidak menarik perhatian kaum pria.

Syarat Kedelapan: Tidak mengandung wangi-wangian atau parfum.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

«أيما امرأة استعطرت فمرت على قوم ليجدوا ريحها، فهي زانية»

“Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian, terus ia melewati kaum pria supaya mereka mencium bau harumnya, maka ia itu berzina.” (Diriwayatkan oleh An Nasai dan yang lainnya, dan At Tirmidziy berkata: Hadits Hasan Shahih).

Dan bersabda shallallahu ‘alaihi wa sallam:

” إذا خرجت إحداكن إلى المسجد فلا تقربن طيبا “

“Bila salah seorang di antara kalian (wanita) keluar menuju mesjid, maka jangan sekali-kali ia menyentuh wewangian.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan dishahihkan oleh Al Arnauth).

Ibnu Daqiq Al ‘Ied berkata: “Di dalamnya terdapat keharaman memakai wewangian bagi wanita yang ingin keluar menuju mesjid, karena dalam tindakan itu terdapat hal yang merangsang syahwat kaum pria.” (Faidlul Qadir milik Al Munawiy).

Saudariku Muslimah:

Ini adalah sifat-sifat hijabmu yang syar’iy yang haram atasmu menyelisihi salah satu darinya di hadapan pria yang bukan mahram. Sedangkan kaum pria yang merupakan mahram bagi seorang wanita yang tidak ada dosa atasnya bila ia tidak berhijab dari mereka adalah orang-orang yang telah Allah sebutkan di dalam surat An Nuur ayat 31, di mana Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ

“Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.”(An Nuur: 31).

Sehingga bukan termasuk mahram-mu wahai wanita yang suci kaum pria ini: saudara suamimu (saudara ipar), saudara-saudara sepupumu dan kerabat-kerabatmu lainnya.

Maka janganlah engkau membuka hijab di hadapan mereka, karena Nabi-mu shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

“إياكم والدخول على النساء قيل يا رسول الله أفرأيت الحمو قال الحمو الموت الحمو الموت”

“Janganlah kalian masuk menemui wanita” Maka seorang pria bertanya: Wahai Rasulullah bagaimana dengan saudara ipar (yaitu saudara suami)? Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Saudara ipar itu kematian.” (Muttafaq ‘Alaih).

An Nawawiy berkata: Al Ahmaa -bentuk jamak dari hamwu- adalah karib kerabat suami, dan hadits mensifati mereka dengan kematian, itu dikarenakan khalwat dengan dengan kerabat suami itu lebih sering terjadi dari khalwat dengan selainnya dan keburukan yang bisa muncul darinya pun lebih banyak dari yang lainnya, karena adanya kemudahan baginya untuk bisa menemui si wanita itu dan khalwat bersamanya tanpa ada pengingkaran, beda halnya dengan pria lain. (Syarh Shahih Muslim)

Ya Allah jagalah wanita kaum muslimin dan karuniakanlah kepada mereka ketertutupan dan kesucian.

Dan limpahkanlah Ya Allah shalawat kepada Nabi kami Muhammad, keluarganya serta semua sahabatnya.

============

Sabtu Tanggal 5 Dzul Hijjah 1436H
Millahibrahim
Andre Tauladan

Rabu, 09 Desember 2015

Fabricated Hadeeth Series

Fabricated Hadeeth Warning

This hadeeth has been classed as maudoo (FABRICATED).

Like the Farewell Sermon, some have attributed false sources to this, saying it is found in Bukhaaree (No. 6:19) and Tirmidhee (No. 14:79).

It is found in neither, but can be found in Silsilatul-Ahaadeeth ad-Da’eefah wa al-Mawdoo’a (No. 3274) of Imaam al-Albaanee, where he said:

“Verily when a man looks at his wife and she looks at him, Allaah will look at them both with glance of Mercy, when he takes her hand their sins will be wiped away through their fingers”

(This is) fabricated, reported by ar-Raafi’ee in his Taarikh (2/47) commenting on Maysara bin ‘Alee in his Mashaykha with its chain of narration from al-Hussain bin Mu’aadh al-Khurasaanee who narrated from Ismaa’eel bin Yahya at-Taymee from Mis’ar bin Kidaam from al-‘Awfee from Abee Sa’eed al-Khudree who said: The Messenger of Allaah (sallallaahu ‘alayhi wa sallam): and then he mentioned the hadeeth.

I [al-Albaanee] say (regarding this hadeeth):

“This is fabricated, damaged by this at-Taymee; he is known to fabricate ahadeeth and he has false and troublesome narrations which some of it were already mentioned, and Hussain bin Mu’aadh is almost like him. Al-Khateeb said (regarding him): ‘He is not trustworthy and his hadeeth is fabricated.’”

Be warned, lying upon the Prophet (sallallaahu ‘alayhi wa sallam) will result to entering the Hell-Fire (if Allaah wills)!

The Prophet (sallallaahu ‘alayhi wa sallam) said:

“Whoever (intentionally) ascribes to me what I have not said then (surely) let him occupy his seat in Hell-fire.”

[Saheeh al-Bukhaaree]
Andre Tauladan

Senin, 30 November 2015

Sedikit bercanda


pic : http://www.slideshare.net/khomsyasholikha/jangan-asal-bercanda
Umar berkata, ”Barangsiapa yang banyak tertawa maka sedikit kemuliaannya, barangsiapa yang bercanda maka dia akan diremehkan.”

Umar bin Abdul Aziz berkata, ”Bertakwalah kepada Allah dan waspadalah terhadap canda. Sesungguhnya canda dapat mewariskan kedengkian dan membawanya kepada keburukan.”

Imam Nawawi di dalam kitabnya itu mengatakan bahwa para ulama berkata, ”Sesungguhnya canda yang dilarang adalah yang kebanyakan dan berlebihan karena ia dapat mengeraskan hati dan menyibukkannya dari dzikrullah dan menjadikan kebanyakan waktu untuk menyakiti, memunculkan kebencian, merendahkan kehormatan dan kemuliaan.“

Adapun canda yang tidak seperti demikian maka tidaklah dilarang. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedikit melakukan canda untuk suatu kemaslahatan, menyenangkan dan menghibur jiwa. Dan yang seperti ini tidaklah dilarang sama sekali bahkan menjadi sunnah yang dianjurkan apabila dilakukan dengan sifat yang demikian. Maka bersandarlah dengan apa yang telah kami nukil dari para ulama dan telah kami teliti dari hadits-hadits dan penjelasan hukum-hukumnya dan hal itu karena besarnya kebutuhkan terhadapnya. wa billah at Taufiq.
(Fatawa al Azhar juz X hal 225)

Wallahu A’lam.
Andre Tauladan

Minggu, 29 November 2015

When Umar R.A made Takfeer..

 
In the time of Muhammad (saw) Umar ibn Khattab had made takfeer on the one who disagreed with the judgment of Muhammad (saw), not only was his takfeer consented to by the Messenger (saw) but confirmed by Allah, Allah (swt) said,

“By your lord, they are not believers until they refer to you in all their disputes and find no hardship therein, and they must submit fully.” [4: 65]

This ayah was revealed concerning two men, Utbah ibn Dumrah narrated
“My father told me, ‘two men came to Muhammad (saw) for arbitration, he judged to one of them who had Haq, over the one who had no Haq, the man said “I disagree”, the other man said, “what do you want?” he said, “let us go to Abu Bakr” they went to Abu Bakr and told him that they arbitrated to Muhammad and that they disagreed, Abu Bakr said, “both of you are on the judgment that Muhammad (saw) gave you.” The man said, “I disagree” the other man said, “What do you want?” he said, “let us go to Umar ibn Khattab.” They went to Umar, they told Umar about their arbitration to Muhammad and Abu Bakr and that they disagreed and came to him for arbitration, Umar said, “Wait here, I will come back to give you my judgment,” he went out and returned with his sword, he killed the one who wanted to judge, and the other one ran and Umar chased him. The men went to Muhammad (saw), and said, “Umar killed my friend, and if I did not make it hard for him, he would have killed me, I was running away until he had nearly killed me,” Muhammad (saw) said, “I never thought that Umar could be brave to kill a Mu’min.” (He was very upset) Allah (swt) revealed the ayah, “By your lord, they are not believers until they refer to you in all their disputes and find no hardship therein, and they must submit fully.” [4: 65]

Muhammad (saw) said to Umar, “Allah purified you from your killing” and he (saw) hugged him.’”

Abu Waleed UK.
Andre Tauladan

Pengaruh Orang Tua Terhadap Anak


Al-Imam Ibnul Qayyim rohimahulloh mengatakan,

“Betapa banyak orang yg mencelakakan anaknya –Belahan hatinya– di dunia dan di akhirat karena tidak memberi perhatian dan tidak memberikan pendidikan adab kepada mereka .

Orangtua justru membantu si anak menuruti semua keinginan syahwatnya . Ia menyangka bahwa dengan berbuat demikian berarti dia telah memuliakan si anak , padahal sejatinya dia telah menghinakannya.

Bahkan dia beranggapan, ia telah memberikan kasih sayang kepada anak dengan berbuat demikian.

Akhirnya, ia pun tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan anaknya . Si anak justru membuat orang tua terluput mendapat bagiannya di dunia dan di akhirat.

Apabila engkau meneliti kerusakan yg terjadi pada anak , akan engkau dapati bahwa keumumannya bersumber dari orangtua.”
(Tuhfatul Maudud hlm. 351)

Beliau rohimahulloh menyatakan pula,

“Mayoritas anak menjadi rusak dengan sebab yg bersumber dari orangtua , dan tidak adanya perhatian mereka terhadap si anak, tidak adanya pendidikan tentang berbagai kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya .

Orangtua telah menyia-nyiakan anak selagi mereka masih kecil, sehingga anak tidak bisa memberi manfaat untuk dirinya sendiri dan orang tuanya ketika sudah lanjut usia.

Ketika sebagian orangtua mencela anak karena kedurhakaannya, si anak menjawab ,

‘Wahai Ayah…
engkau dahulu telah durhaka kepadaku saat aku kecil , maka aku sekarang mendurhakaimu ketika engkau telah lanjut usia . Engkau dahulu telah menyia-nyiakanku sebagai anak, maka sekarang aku pun menyia-nyiakanmu ketika engkau telah berusia lanjut’.”
(Tuhfatul Maudud hlm. 337)

(Diambil dari Huququl Aulad ‘alal Aba’ wal Ummahat hlm. 8—9, karya asy-Syaikh Abdulloh bin Abdirrohim al-Bukhory hafizhohulloh)
Andre Tauladan

Hukum Mempercayai Pawang Hujan


Alloh Subhaanahu wa ta'ala berfirman :

وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ حَتَّىٰ إِذَا أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَّيِّتٍ فَأَنزَلْنَا بِهِ الْمَاءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ كَذَ‌ٰلِكَ نُخْرِجُ الْمَوْتَىٰ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Dan Dialah yg meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan) hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung , Kami halau ke suatu daerah yg tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan . Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yg telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.” (Qs. al-A'rof : 57)

1. Yg menggerakkan angin, cuaca, hujan dan lain sebagainya hanyalah Alloh . Manusia hanya bisa memprediksi dari tanda-tanda alami (kauniyah) yg mana prediksi tsb bisa salah dan bisa benar . Maka prediksi cuaca seperti ini yg bersandar pada tanda-tanda alami adalah tidak mengapa, selama tidak diiringi dengan keyakinan kebenarannya. Jadi, hanyalah prediksi belaka…

2. Pawang hujan yg diklaim bisa memindahkan hujan atau menahan hujan , maka sejatinya mereka ini adalah DUKUN yg seringkali bekerjasama dengan jin, sebagaimana dukun-dukun lainnya.

3. Kata para ulama, DUKUN dan TUKANG SIHIR adalah THOGHUT dan PARA PENDUSTA .

Alloh Subhaanahu wa ta'ala berfirman :

{هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنزلُ الشَّيَاطِينُ، تَنزلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ، يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ}

“Maukah Aku beritakan kepada kalian, kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak berbuat jahat/buruk (para dukun dan tukang sihir). Syaitan-syaitan tersebut menyampaikan berita yg mereka dengar (dengan mencuri berita dari langit, kepada para dukun dan tukang sihir), dan kebanyakan mereka adalah para pendusta.“
(QS asy-Syu’araa’: 221-223)

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa para pendusta dalam ayat di atas adalah DUKUN dan yg semisal dengan mereka .

4. Mendatangi pawang hujan sama hukumnya dengan mendatangi DUKUN .

Hukumnya diperinci sebagai berikut :

● Mendatangi dan bertanya kpd mereka TANPA MEMBENARKANNYA, maka ini hukumnya dosa yg sangat besar dan tidak diterima sholatnya selama 40 hari .
(( Bukan artinya tidak perlu sholat, karena sholat itu kewajiban yg tidak boleh ditanggalkan )) = SYIRIK ASHGHOR

● Mendatangi mereka dan MEMBENARKANNYA maka ini adalah KAFIR –Wal'iyadzubillah– = SYIRIK AKBAR

5. Apabila yg dilakukan DUKUN itu terjadi dan nyata seperti yg diklaim. Maka jangan tertipu , sebagaimana Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- ketika ditanya tentang al-kuhhaan (para DUKUN) , Beliau menjawab ,

“Mereka adalah orang-orang yg tidak ada artinya.”

Salah seorang sahabat berkata,

“Sesungguhnya para DUKUN tersebut TERKADANG MENYAMPAIKAN KEPADA KAMI SUATU (BERITA) YANG (kemudian ternyata) BENAR.
Maka Rosululloh bersabda,

“Kalimat (berita) yg benar itu adalah yg dicuri (dari berita di langit) oleh jin (syaitan), lalu dimasukkannya ke telinga teman dekatnya (yaitu dukun dan tukang sihir), yg kemudian mereka mencampuradukkan berita tersebut dengan 100 kedustaan”
(Muttafaq alaihi)

Wallohu a’lam.

Andre Tauladan

Kamis, 26 November 2015

A Warning to the Women from Conversing with Men


Shaykh Ibn ‘Uthaymeen was asked:

What is your opinion regarding some women who are easy going and free when talking to men? It is hoped that you could offer them (some) words of guidance; and may Allaah reward you with good.

Response:

“It is not permissible for a woman to extend her speech beyond that which is necessary with men who are not her mahram. This is because it leads to fitnah, and Allaah (Tabaaraka wa Ta’aala) says:

‘…then be not soft in speech, lest he in whose heart is a disease should be moved with desire, but speak in an honourable manner’

[Soorah al-Ahzaab: 32]

(So) she must speak to the (market) trader in accordance with her needs, without extending (her speech with him). This is because Shaytaan flows through the son of Aadam as blood flows. And how many a woman says that she is far removed from fitnah, however, Shaytaan is still with her in order to invite her to the fitnah.

It is possible that she has just left (the company of) a man with whom she unnecessarily extended her speech with, and then Shaytaan whispers evil thoughts to her until she returns back to this man and the first words (they exchange) become the sparks (which initiate the fitnah) and the final words – a blazing inferno (when they have both fallen into the fitnah); and refuge is sought in Allaah!

So it is required of the woman to fear Allaah and not to succumb to such speech, and nor to extend speech beyond that which is necessary. And an example of this – and it is indeed an evident scourge, rather a major scourge – and that is what occurs by way of the telephone.

So there are many pathetic fools who dial any random number (in the hope of speaking to a woman) and (then they find) a woman (who eventually) speaks to them. So he says words of affection to her and they continue like this again and again. He then records their conversations – and this is a problem, because he will never leave her alone. So he records all their conversations, and when matters turn ugly (between them), he says to her: ‘Either you do (such-and-such) or I will give (the recordings) to your son or brother or father or other than them, so they can hear your voice (and what we talked about).’

So because of this, I warn the women from (unnecessarily) extending conversation with men; indeed it is a danger of immense proportions, and we ask Allaah for safety from the fitan.”
dari : diary of a mujahidah
From: I’laam al-Mu’aasireen bi-Fataawa Ibn ‘Uthaymeen (pp. 391-392)
Andre Tauladan

Selasa, 17 November 2015

Indikasi Sehatnya Hati


Kerinduannya kepada khidmah seperti kerinduan seorang yang lapar kepada makanan dan minuman.

Yahya bun Mu'adz berkata, “Barangsiapa senang untuk berkhidmah kepada Allah ‘azza wa jalla, segala sesuatu akan senang berkhidmah kepadanya. Barangsiapa tentram dan sejuk hatinya lantaran (taat kepada) Allah, tentram dan sejuk hati pulalah semua yang memandangnya.”

● Si empunya hati yang sehat hanya memiliki satu keinginan, yakni taat kepada Allah.

● Sangat bakhil terhadap waktu. Menyesal, jika terbuang sia-sia. Kebakhilannya terhadap waktu, melebihi kebakhilan manusia terkikir kepada hartanya.

● Jika telah masuk waktu shalat lenyaplah segala harapan dan kesedihannya terhadap dunia. Ia mendapatkan kelapangan, kenikmatan, penyejuk mata dan penyejuk jiwa di dalam shalat itu.

● Tidak pernah letih untuk berdzikir kepada Allah 'azza wa jalla, tidak pernah bosan untuk berkhidmah kepada-Nya dan tidak bersikap manis kecuali kepada orang yang menunjukkan jalan kebenaran atau mengingatkannya akan Rabbnya.

● Perhatiannya untuk memperbaiki amalan dengan benar, melebihi perhatiannya untuk beramal. Sehingga ia akan berusaha untuk ikhlas, loyal, ittiba’ dan ihsan di dalamnya.

Bersamaan dengan itu ia menyaksikan betapa banyak anugerah yang Allah berikan kepadanya dan ia tetap menyadari betapa ia telah banyak melalaikan hak-hak-Nya.


Tazkiyatun Nufus, wa Tarbiyatuha kama Yuqarrirruhu 'Ulama’ as-Salaf
Andre Tauladan

About Me

Andre Tauladan adalah blog untuk berbagi informasi umum. Terkadang di sini membahas topik agama, politik, sosial, pendidikan, atau teknologi. Selain Andre Tauladan, ada juga blog khusus untuk berbagi seputar kehidupan saya di Jurnalnya Andre, dan blog khusus untuk copas yaitu di Kumpulan Tulisan.

Streaming Radio Ahlussunnah

Today's Story

Dari setiap kejadian di akhir zaman, akan semakin nampak mana orang-orang yang lurus dan mana yang menyimpang. Akan terlihat pula mana orang mu'min dan mana yang munafiq. Mana yang memiliki permusuhan dengan orang kafir dan mana yang berkasihsayang dengan mereka.
© Andre Tauladan All rights reserved | Theme Designed by Seo Blogger Templates