Schwartz memandang Islam sebagai sebuah agama yang sederhana. Saat
mempelajari Protestan, ia tidak menemukan kedalaman spiritual. Ia
menyukai Katolik, namun tidak dapat menerima ketuhanan Yesus. Ia juga
tidak dapat menerima Buddha, karena Allah tidak hadir di sana.
Ia percaya bahwa agama diutus kepada manusia untuk membuat hidup lebih baik dan ringan. Ia tidak dapat mempercayai dosa yang diturunkan ataupun kejatuhan manusia. Schwartz tertarik terhadap Islam karena penolakan keras mereka terhadap pengkarakteristikan Tuhan seperti manusia (antropomorfisme).
Dalam sufisme Islam, ia mengaku menemukan kebijaksanaan terhadap agama populer dari Bosnia ke Khazakstan, Maroko ke Indonesia. Banyak hal-hal positif yang ia temukan di agama Samawi. Nilai positif itu terefleksikan dalam ajaran Islam. “Islam datang untuk menyempurnakan agama terdahulu,” kata Schwartz.
Setelah memeluk Islam, hal yang sangat berkesan baginya adalah kedamaian hati disertai kehadiran Allah pada setiap hal. Schwartz sangat yakin nilai-nilai Islam itu mampu menyelesaikan permasalahan di Amerika, terutama krisis moral.
Berhenti menjadi seorang jurnalis, ia dipercaya menjadi direktur Eksekutif Pusat Pluralisme Islam di Washington. Ia juga banyak menulis buku, salah satunya yang terjual habis adalah The Two Faces of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role in Terrorism.
Sejak menjadi seorang mualaf, ia sangat berhati-hati mengungkapkan perubahan itu kepada keluarganya, apalagi ayahnya. Ia tidak ingin sembarangan mengabarkan karena takut menimbulkan konflik dan kontroversi. Ia berusaha untuk mengatakan keislamannya bukan karena pengaruh dari Balkan.
“Saya menyukai Islam karena pesan indah yang dibawa Rasulullah sebagai utusan Allah kepada umat-Nya.” (republika)
Ia percaya bahwa agama diutus kepada manusia untuk membuat hidup lebih baik dan ringan. Ia tidak dapat mempercayai dosa yang diturunkan ataupun kejatuhan manusia. Schwartz tertarik terhadap Islam karena penolakan keras mereka terhadap pengkarakteristikan Tuhan seperti manusia (antropomorfisme).
Dalam sufisme Islam, ia mengaku menemukan kebijaksanaan terhadap agama populer dari Bosnia ke Khazakstan, Maroko ke Indonesia. Banyak hal-hal positif yang ia temukan di agama Samawi. Nilai positif itu terefleksikan dalam ajaran Islam. “Islam datang untuk menyempurnakan agama terdahulu,” kata Schwartz.
Setelah memeluk Islam, hal yang sangat berkesan baginya adalah kedamaian hati disertai kehadiran Allah pada setiap hal. Schwartz sangat yakin nilai-nilai Islam itu mampu menyelesaikan permasalahan di Amerika, terutama krisis moral.
Berhenti menjadi seorang jurnalis, ia dipercaya menjadi direktur Eksekutif Pusat Pluralisme Islam di Washington. Ia juga banyak menulis buku, salah satunya yang terjual habis adalah The Two Faces of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role in Terrorism.
Sejak menjadi seorang mualaf, ia sangat berhati-hati mengungkapkan perubahan itu kepada keluarganya, apalagi ayahnya. Ia tidak ingin sembarangan mengabarkan karena takut menimbulkan konflik dan kontroversi. Ia berusaha untuk mengatakan keislamannya bukan karena pengaruh dari Balkan.
“Saya menyukai Islam karena pesan indah yang dibawa Rasulullah sebagai utusan Allah kepada umat-Nya.” (republika)
Post a Comment