Masih membahas tentang "Takut kepada Allah", seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah harus memiliki rasa takut kepadaNya, rasa takut yang membuatnya patuh terhadap perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah. Orang itu harus bisa mengendalikan / memerangi hawa nafsunya yang cenderung kepada maksiat. Jika berhasil 'membakar' hawa nafsu dan syahwatnya (keinginan) terhadap kesenangan duniawi, maka ia akan menjadi manusia yang lemah lembut, khusyu' dalam mendekatkan diri kepada Allah, merasa hina di hadapanNya dan pada akhirnya hati menjadi tenang. Maka ia tidak lagi sombong dan tidak pula ujub. Kebusukan dan kedengkian hatinya perlahan-lahan lenyap. Karena dengki dan busuk hati merupakan penyakit jiwa yang merusak amal perbuatan. Jika seseorang merasa takut kepada 'siska' Allah, tentu ia berusaha mencegah sekuat mungkin untuk menjaga hati dari penyakit itu.
Imam Ghazali mengibaratkan takut bagaikan binatang buas. Seseorang terjatuh pada cengkeramannya. Tentu orang tersebut berada dalam keadaan darurat. Ia tidak tahu, apakah binatang itu lengah sehingga ia bisa terlepas, atau justru diterkamnya. Maka karena rasa takut yang begitu hebat, memaksa ia untuk berpikir dan berjuang. Begitu pula orang yang takut kepada siksa Allah, seharusnya lebih hebat perjuangannya dibandingkan usaha melepaskan dari terkaman binatang buas.
Minimal seseorang yang takut terhadap Allah dan takut terhadap siksaanNya, dapat dilihat dari amal perbuatannya. Hendaknya ia mencegah diri dari perbuatan-perbuatan terlarang. Jika ia berhasil mencegah diri dari yang demikian, biasanya disebut dengan 'wara'. Apabila ia telah kuat dan mampu mencegah dari yang haram (dilarang), maka akan ditingkatkan dengan mencegah dari sesuatu yang halal tetapi meragukan. Tingkatan ini disebut takwa. Sebab takwa adalah meninggalkan seseuatu yang meragukan. Kekhawatiran-kekhawatiran terjebak dari perbuatan terlarang sehingga meninggalkan yang halal (tetapi meragukan) adalah lebih utama.
Jadi rasa takut yang harus dipahami adalah takut secara lahir batin. Bukan takut hanya terbatas di dalam hati saja tetapi juga diikuti dengan lahiriahnya, yaitu mencegah nafsu syahwat. Jika seseorang telah takut berbuat maksiat (sesuatu yang dilarang) dan takut melakukan perbuatan yang halal tetapi meragukan, maka itulah orang yang bertakwa. Sesungguhnya takwa adalah ibarat dari pencegahan perbuatan yang tidak baik, sesuai dengan yang dikehendaki oleh rasa takut.
Hati yang bersih tentu rasa takutnya kepada Allah lebih kuat dengan hati yang kotor (oleh maksiat). Abu Sulaiman ad-Darani ra. berkata, "Tidaklah takut itu berpisah dari hati kecuali hati itu menjadi rusak." Selama manusia itu memiliki rasa takut kepada Allah, maka ia tetap menapaki jalan yang lurus. Ia tidak akan tersesat jalan. Tetapi ketika ia tidak lagi merasa takut, maka dengan mudahnya ia membelokkan langkah dari menuju kebenaran kepada jalan kesesatan.
Takut dan harap itu bagaikan dua sisi mata uang. Di dalam hati manusia, harap dan takut selalu ada. Bergantung mana yang lebih kuat. Jika harapan lebih kuat, maka ia dapat mengalahkan hati, dan akan menjadi rusak. Seharusnya takut di dalam hati yang lebih kuat. Abu Sulaiman berpendapat, Jika sikap takut telah tertanam, maka kemuliaan seseorang akan terangkat. Jika rasa takut diabaikan, maka derajat seseorang menjadi jatuh.
Kadar rasa takut sebaiknya lebih besar daripada pengharapan. Sebab, manusia masih saja cenderung menurutkan hawa nafsu. Jika selalu berharap mendapat surgaNya, maka tentu manusia kurang tulus dalam beribadah. namun jika rasa takut demikian kuat menguasai hatinya, manusia akan senantiasa berbakti. Dengan berusaha menanamkan sifat takut kepada Allah, hawa nafsu bisa dikalahkan sehingga segala amal perbuatan pasti dilakukan dengan tulus, selalu mengharapkan ridha Allah (takut segala ibadah tidak diridhaiNya).
Andre Tauladan
Post a Comment