Oleh : Umar Al Faruq
Al-Syafi’I (w. 240 H), pendiri mazhab Syafi’iyyah memiliki sebuah semboyan: “Pendapatku benar tetapi mungkin salah, sedangkan pendapat orang lain salah tetapi mungkin benar” (ra’yi sawabun yahtamilu al-khata’a wa ra’yu ghayri khata’un yahtamilu al-sawaba)
Dengan prinsip tersebut, Al-Syafi’i atau Imam Syafi’i di satu sisi berusaha terhindar dari dogmatisme dan absolutisme yang mengganggap bahwa dirinya sendiri adalah yang benar sedangkan orang lain pasti salah. Di sisi lain, Al-Syafi’i berusaha menyingkir dari jebakan-jebakan relativisme yang membenarkan semua pendapat tergantung persepektif masing-masing.
Dalam tradisi Islam, tidak sedikit ahli usul fikih (usuliyyin) yang terjebak dalam relativisme. Mereka popular disebut sebagai musawwibah, yakni sebuah kelompok yang membenarkan semua pendapat pakar hukum Islam (mujtahidin). Konsep toleransi yang modern ala Al-Syafi’i member inspirasi kepada kita bahwa “penyesatan” terhadap orang yang berbeda pendapat adalah tindakan yang tidak etis.
Malik bin Anas (w. 179 H), pendiri mazhab Malikiyyah, termasuk ulama yang mengusung semangat toleransi. Baginya, kebebasan berpendapat dan perbedaan harus dihargai dan tidak boleh diberangus dengan upaya unifikasi melalui kebijakan penguasa. Pembelaannya terhadap kebebasan berpendapat tampak dalam kasus ketika Harun al-Rasyid (w. 193 H) berinisiatif menggantung Al-Muwatta karya Malik di atas Ka’bah dan memerintahkan semua orang agar mengikuti kitab tersebut. Namun, Malik menolak keinginan itu dengan berkata, “Wahai pemimpin kaum mukminin, janganlah Anda gantung kitab itu di atas Ka’bah, sebab para sahabat Nabi telah berbeda pendapat”. Jawaban tersebut menunjukkan sikap toleran Malik terhadap keragaman pendapat dan sikap empatinya terhadap perbedaan.
Toleransi sangat lekat dengan kerendahan hati, kemurahan hati, keramahan, dan kesopanan dalam menghargai orang lain, sedangkan intoleransi merupakan bentuk keangkuhan yang menghancurkan apa saja yang tidak dipahami dan yang berbeda. Ulama yang toleran tidak takut untuk mengakui kebodohan atau ketidakpastian pendapatnya sendiri.
Malik bin Anas adalah salah satu ulama yang sangat menekankan pentingnya kritik diri untuk mengantisipasi munculnya dogmatism di kalangan umat Islam. Beliau berkata, “Aku hanyalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa salah. Maka telitilah pendapatku. Jika sesuai dengan al Qur’an dan Sunnah maka ambillah. Jika tidak sesuai maka tinggalkanlah.”
Toleransi mengharuskan kita sudi melihat pendapat orang lain sebagai hal yang layak dihormati. Sementara tangga-tangga yang menuntun kita mencapai sikap toleran adalah keluasan wawasan dan pendidikan yang inklusif. Al-Syafi’i dalam dialog dengan muridnya yang bernama Ibrahim al_muzani (w. 264), dia berkata: “Wahai Ibrahim janganlah engkau mengikuti semua ucapanku, tetapi telitilah dan berfikirlah untuk dirimu sendiri”. Pendidikan inklusif Imam Syafi’i tidak bertujuan mendoktrin murid tetapi justru memberikan kesempatan kepada murid untuk berfikir kreatif dan independen. Pendidikan inklusif tidak mengekang seorang murid harus sama dengan pendapat gurunya yang berbeda.
Imam Al-Ghazali (1058-111 M / 450 – 505 H) dalam karyanya Ihya’ ‘Ulum al-Din, mengulas pentingnya kontrol emosi dalam menghargai perbedaan. Kontrol emosi dapat dilakukan dalam enam langkah: Pertama, merenungi keutamaan memaafkan dan menahan amarah sebagaimana firman Alloh dalam QS. Ali Imran (3): 133-134; kedua, takut pada siksa Alloh terhadap pemarah; ketiga, menghindari ekses negatif dari permusuhan; keempat, membayangkan raut wajah yang amat jelek seperti anjing dan binatang buas saat marah-marah; kelima, berfikir ulang tentang penyebab kemarahan; dan keenam, menyadari bahwa kemarahan keluar dari kesombongan karena pemarah merasa seakan-akan perilakunya sesuai dengan maksud Alloh.
Jangankan dalam dakwah, dalam perang pun tidak boleh emosional. Masih ingatkah cerita Ali bin Abi Thalib saat perang? Suatu ketika dalam perang tanding, Sayyidina Ali bisa menjatuhkan musuhnya, hingga terlentang dan siap terbunuh. Pada saat itu musuh Sayyidina Ali meludahi beliau hingga kena mukanya. Merah padamlah wajah Sayyidina Ali karena kemarahan.
Tapi, apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ali? Beliau justru meninggalkan musuhnya yang sudah tidak berdaya itu. Ketika ditanya oleh seorang sahabat, kenapa musuh itu malah ditinggalkan? Sayyidina Ali menjawab: “Saya sedang sangat marah karena diludahi. Maka kalau saya membunuh dia, itu bukan karena Alloh. Tapi karena kemarahan saya”.
Fanatisme dan taqlid buta sangat bertentangan dengan semangat inklusif dan toleran yang ditunjukkan oleh Imam Al-Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad Ibn Hanbal. Al-Syafi’i dengan rendah hati rela tidak berdoa qunut pada saat sholat subuh di dekat makam Abu Hanifah dengan alasan menghormati Abu Hanifah yang tidak menganjurkan doa qunut. Malik bin Anas secara inklusif berkata, “Aku adalah manusia biasa yang bisa salah dan benar, maka telitilah pendapatku. Jika sesuai dengan al Qur’an dan Sunnah maka ambillah. Jika tidak sesuai maka tinggalkanlah”. Ahmad bin Hanbal berkata, “Janganlah kalian bertaklid kepadaku, Malik, Al-Syafi’i, dan Al-Tsauri. Tetapi belajarlah kalian seperti kami”. Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan bahwa para Imam tidak rela apabila pendapat-pendapat mereka ditelan mentah-mentah oleh para pengikut fanatik mazhab.
Wallohu a'lam...
Dengan prinsip tersebut, Al-Syafi’i atau Imam Syafi’i di satu sisi berusaha terhindar dari dogmatisme dan absolutisme yang mengganggap bahwa dirinya sendiri adalah yang benar sedangkan orang lain pasti salah. Di sisi lain, Al-Syafi’i berusaha menyingkir dari jebakan-jebakan relativisme yang membenarkan semua pendapat tergantung persepektif masing-masing.
Dalam tradisi Islam, tidak sedikit ahli usul fikih (usuliyyin) yang terjebak dalam relativisme. Mereka popular disebut sebagai musawwibah, yakni sebuah kelompok yang membenarkan semua pendapat pakar hukum Islam (mujtahidin). Konsep toleransi yang modern ala Al-Syafi’i member inspirasi kepada kita bahwa “penyesatan” terhadap orang yang berbeda pendapat adalah tindakan yang tidak etis.
Malik bin Anas (w. 179 H), pendiri mazhab Malikiyyah, termasuk ulama yang mengusung semangat toleransi. Baginya, kebebasan berpendapat dan perbedaan harus dihargai dan tidak boleh diberangus dengan upaya unifikasi melalui kebijakan penguasa. Pembelaannya terhadap kebebasan berpendapat tampak dalam kasus ketika Harun al-Rasyid (w. 193 H) berinisiatif menggantung Al-Muwatta karya Malik di atas Ka’bah dan memerintahkan semua orang agar mengikuti kitab tersebut. Namun, Malik menolak keinginan itu dengan berkata, “Wahai pemimpin kaum mukminin, janganlah Anda gantung kitab itu di atas Ka’bah, sebab para sahabat Nabi telah berbeda pendapat”. Jawaban tersebut menunjukkan sikap toleran Malik terhadap keragaman pendapat dan sikap empatinya terhadap perbedaan.
Toleransi sangat lekat dengan kerendahan hati, kemurahan hati, keramahan, dan kesopanan dalam menghargai orang lain, sedangkan intoleransi merupakan bentuk keangkuhan yang menghancurkan apa saja yang tidak dipahami dan yang berbeda. Ulama yang toleran tidak takut untuk mengakui kebodohan atau ketidakpastian pendapatnya sendiri.
Malik bin Anas adalah salah satu ulama yang sangat menekankan pentingnya kritik diri untuk mengantisipasi munculnya dogmatism di kalangan umat Islam. Beliau berkata, “Aku hanyalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa salah. Maka telitilah pendapatku. Jika sesuai dengan al Qur’an dan Sunnah maka ambillah. Jika tidak sesuai maka tinggalkanlah.”
Toleransi mengharuskan kita sudi melihat pendapat orang lain sebagai hal yang layak dihormati. Sementara tangga-tangga yang menuntun kita mencapai sikap toleran adalah keluasan wawasan dan pendidikan yang inklusif. Al-Syafi’i dalam dialog dengan muridnya yang bernama Ibrahim al_muzani (w. 264), dia berkata: “Wahai Ibrahim janganlah engkau mengikuti semua ucapanku, tetapi telitilah dan berfikirlah untuk dirimu sendiri”. Pendidikan inklusif Imam Syafi’i tidak bertujuan mendoktrin murid tetapi justru memberikan kesempatan kepada murid untuk berfikir kreatif dan independen. Pendidikan inklusif tidak mengekang seorang murid harus sama dengan pendapat gurunya yang berbeda.
Imam Al-Ghazali (1058-111 M / 450 – 505 H) dalam karyanya Ihya’ ‘Ulum al-Din, mengulas pentingnya kontrol emosi dalam menghargai perbedaan. Kontrol emosi dapat dilakukan dalam enam langkah: Pertama, merenungi keutamaan memaafkan dan menahan amarah sebagaimana firman Alloh dalam QS. Ali Imran (3): 133-134; kedua, takut pada siksa Alloh terhadap pemarah; ketiga, menghindari ekses negatif dari permusuhan; keempat, membayangkan raut wajah yang amat jelek seperti anjing dan binatang buas saat marah-marah; kelima, berfikir ulang tentang penyebab kemarahan; dan keenam, menyadari bahwa kemarahan keluar dari kesombongan karena pemarah merasa seakan-akan perilakunya sesuai dengan maksud Alloh.
Jangankan dalam dakwah, dalam perang pun tidak boleh emosional. Masih ingatkah cerita Ali bin Abi Thalib saat perang? Suatu ketika dalam perang tanding, Sayyidina Ali bisa menjatuhkan musuhnya, hingga terlentang dan siap terbunuh. Pada saat itu musuh Sayyidina Ali meludahi beliau hingga kena mukanya. Merah padamlah wajah Sayyidina Ali karena kemarahan.
Tapi, apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ali? Beliau justru meninggalkan musuhnya yang sudah tidak berdaya itu. Ketika ditanya oleh seorang sahabat, kenapa musuh itu malah ditinggalkan? Sayyidina Ali menjawab: “Saya sedang sangat marah karena diludahi. Maka kalau saya membunuh dia, itu bukan karena Alloh. Tapi karena kemarahan saya”.
Fanatisme dan taqlid buta sangat bertentangan dengan semangat inklusif dan toleran yang ditunjukkan oleh Imam Al-Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad Ibn Hanbal. Al-Syafi’i dengan rendah hati rela tidak berdoa qunut pada saat sholat subuh di dekat makam Abu Hanifah dengan alasan menghormati Abu Hanifah yang tidak menganjurkan doa qunut. Malik bin Anas secara inklusif berkata, “Aku adalah manusia biasa yang bisa salah dan benar, maka telitilah pendapatku. Jika sesuai dengan al Qur’an dan Sunnah maka ambillah. Jika tidak sesuai maka tinggalkanlah”. Ahmad bin Hanbal berkata, “Janganlah kalian bertaklid kepadaku, Malik, Al-Syafi’i, dan Al-Tsauri. Tetapi belajarlah kalian seperti kami”. Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan bahwa para Imam tidak rela apabila pendapat-pendapat mereka ditelan mentah-mentah oleh para pengikut fanatik mazhab.
Wallohu a'lam...
Numpang nyimak sob. Izin Sedot ya Gan. Menarik sekali ini.
BalasHapusKunjungan di sore hari :)
BalasHapusFree backlink at freebacklinkindo.blogspot.com
Pak Asep : Silakan pak.. nggak dipungut bayaran kok :D
BalasHapus@FBI : siap mengunjungi balik