Membaca Ta’awudz Ketika Melintasi Kuburan Membaca ta’awudz atau meminta perlindungan kepada Allah ketika melintasi kuburan atau tempat-tempat yang dianggap keramat dan membahayakan, sekilas terkesan merupakan amalan yang disyariatkan bahkan mungkin ada sebagian yang menganggapnya sebagai ibadah. Karenanya ketika seorang muslim -bahkan sebagian penuntut ilmu- mendengar amalan ini maka mereka serta merta akan membenarkannya. Atau bahkan mereka sendiri mungkin mengamalkannya. Akan tetapi tahukah anda bahwa di dalam amalan ini - yakni membaca ta’awudz ketika lewat atau berada di tempat-tempat menyeramkan- terdapat ‘sesuatu’? Sebagai catatan pertama terhadap amalan ini kami katakan: Yang menjadi tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika melewati kuburan atau berada di kuburan adalah mengucapkan salam, bukannya membaca ta’awudz. Di antara lafazh salam yang disyariatkan adalah:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَلَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ
“AS SALAAMU ‘ALAIKUM AHLAD DIYAARI MINAL MUKMINIIN WAL MUSLIMIIN WA INNAA INSYAA`ALLAHU BIKUM LAAHIQUUN ASALULLAHA LANAA WALAKUMUL ‘AAFIYAH (Semoga keselamatan tercurah bagi penghuni (kubur) dari kalangan orang-orang mukmin dan muslim dan kami insya Allah akan menyulul kalian semua. Saya memohon kepada Allah bagi kami dan bagi kalian keselamatan.” (HR. Muslim no. 1620 dari Buraidah radhiallahu anhu)
Maka berta’awudz ketika melalui atau berada di kuburan adalah menyelisihi sunnah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Catatan kedua: Kita tanyakan kepada orang yang berta’awudz ketika melewati kuburan atau yang semacamnya ini. Kenapa dia membaca ta’awudz?
Jika dia menjawab: Saya takut kepada makhluk ghaib (dengan semua jenisnya), karena makhluk ghaib ini bisa menimpakan mudharat kepada saya.
Jika dia menjawab: Saya takut kepada makhluk ghaib (dengan semua jenisnya), karena makhluk ghaib ini bisa menimpakan mudharat kepada saya.
Maka ucapan seperti ini merupakan kekeliruan yang besar dan dia telah berbuat kesyirikan dengan keyakinannya itu. Hal itu karena khauf (takut) itu adalah ibadah, sehingga khauf kepada selain Allah adalah kesyirikan. Karenanya para ulama ketika menyebutkan jenis-jenis khauf yang merupakan kesyirikan, mereka menyebutkan di antara bentuknya adalah khauf kepada orang yang telah meninggal atau kepada jin-jin. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti kawan-kawannya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 175)
Ayat ini tegas menyebutkan bahwa yang bisa ditakut-takuti oleh setan hanyalah orang-orang yang memang pada dasarnya takut kepada setan, yang dalam ayat ini diungkapkan sebagai ‘kawan-kawannya’. Lalu Allah Ta’ala memerintahkan untuk menunggalkan rasa takut kepada-Nya dan melarang takut kepada setan-setan itu, sebagai syarat keimanan seorang hamba.
Dan jika dia menjawab: Saya yakin bahwa mudharat dan bahaya itu di tangan Allah, karenanya saya berta’awudz agar jangan sampai Allah mengizinkan mereka (penghuni kubur) menimpakan mudharat kepada saya.
Maka ucapan seperti ini hakikatnya bertentangan dengan keyakinannya.
Karena kita akan bertanya: Apakah betul orang yang telah meninggal masih bisa menimpakan mudharat kepada orang yang masih hidup?
Jika dia menjawab: Ya masih bisa. Maka ini adalah keyakinan yang batil. Orang yang telah meninggal telah berada di alam barzakh, mungkin mendapatkan nikmat dan mungkin juga mendapatkan siksa. Maka bagaimana bisa mereka menimpakan mudharat kepada orang yang masih hidup?! Maka keyakinannya yang batil ini telah mengantarkan dia kepada perbuatan kesyirikan yaitu meyakini bahwa selain Allah (makhluk ghaib) bisa menimpakan mudharat walaupun tanpa izin dari Allah. Dan walaupun dia tidak mengucapkan hal itu, akan tetapi yang menjadi patokan di sini adalah hatinya, bukan lisannya.
Yang menjadi indikasi bahwa dia takutnya kepada mayit atau jin adalah bahwa biasanya dia hanya membaca ta’awudz ketika melewati kuburan dan semacamnya sendirian, adapun ketika ramai-ramai maka dia tidak membacanya. Atau ketika dia melaluinya di malam hari dan tidak membacanya ketika melaluinya di siang hari. Semua indikasi ini menunjukkan bahwa ucapannya: “Saya yakin bahwa mudharat dan bahaya itu di tangan Allah,” adalah kedustaan yang bertentangan oleh amalan dan keyakinannya.
Catatan ketiga: Bahwasanya orang ini -karena keseringan dia membaca ta’awudz-, maka besar kemungkinan dia akan meyakini bahwa ta’awudz ini disyariatkan ketika melewati kuburan atau tempat-tempat keramat. Dan ini keyakinan lain yang salah besar. Hal itu karena ta’awudz adalah ibadah, sehingga dalam pengucapannya -termasuk dalam masalah tempat mengucapkannya- harus sesuai dengan petunjuk syariat. Karenanya kapan ta’awudz ini dibaca dan dikhususkan pada tempat tertentu tanpa dalil maka jadilah dia bid’ah dalam agama. Dan sama sekali tidak ada dalil yang mensyariatkan ta’awudz ketika melewati kuburan, bahkan sebaliknya yang ada adalah disyariatkan mengucapkan salam kepada penghuni kubur, sebagaimana yang disebutkan di atas.
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
“Barang siapa yang singgah pada suatu tempat kemudian dia membaca, “A’AUUDZU BI KALIMAATILLAHIT TAAMMAH MIN SYARRI MAA KHALAQ (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan makhluk yang Dia ciptakan),” niscaya tidak akan ada yang membahayakannya hingga di pergi dari tempat itu.” (HR. Muslim no. 4881)
Maka jawabannya: Nabi shallallahu alaihi wasallam menganjurkan doa di atas bagi siapa saja yang singgah atau tiba pada suatu tempat dalam perjalanannya, dan sama sekali Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak mengkhususkan doa itu ketika singgah atau melewati kuburan atau tempat-tempat keramat. Karenanya doa di atas tetap disyariatkan dibaca walaupun ketika seseorang itu mampir di masjid untuk shalat di tengah perjalanannya. Jadi sama sekali tidak ada sisi pendalilan bagi dia dalam hadits di atas.
Demikian yang bisa kami jelaskan, semoga kaum muslimin seluruhnya bisa mengambil manfaat darinya dan bersegera meninggalkan kebiasaan yang tidak sejalan dengan tuntunan syariat Islam, wallahul Musta’an.
Sumber : Al-Atsariyah
Post a Comment