JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua DPR Pramono Anung menilai, rencana pemerintah menerapkan kebijakan larangan penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan roda dua merupakan kebijakan yang aneh dan tak pro-rakyat.
Menurutnya, tak ada satu negara pun di dunia yang membedakan harga BBM untuk masing-masing kendaraan. "Ini sebuah kebijakan yang terasa aneh, dibedakan harga premium motor dan mobil. Tidak ada di negara mana pun kebijakan kendaraan dibedakan. Terlihat jelas kebijakan ini tidak pro-rakyat," kata Pramono di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (27/5/2010).
Para pengguna kendaraan roda dua justru harus dilindungi dengan kebijakan-kebijakan yang tidak memberatkan secara ekonomi. "Mereka yang naik motor itu kan yang naik kelas dari naik sepeda beralih ke motor. Seharusnya tidak dibedakan, tapi dilindungi," ujar mantan Sekjen PDI Perjuangan ini.
Alasan penghematan konsumsi BBM bersubsidi, menurutnya, tidak tepat. Pemerintah, dalam hal ini BP Migas, harus memikirkan cara untuk mencari cadangan minyak baru. "Selama ini masih mengandalkan sumber minyak zaman Belanda. BP Migas harus berani mencari cadangan minyak baru. Misalnya di Indonesia Timur," kata Pramono.
Menurutnya, tak ada satu negara pun di dunia yang membedakan harga BBM untuk masing-masing kendaraan. "Ini sebuah kebijakan yang terasa aneh, dibedakan harga premium motor dan mobil. Tidak ada di negara mana pun kebijakan kendaraan dibedakan. Terlihat jelas kebijakan ini tidak pro-rakyat," kata Pramono di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (27/5/2010).
Para pengguna kendaraan roda dua justru harus dilindungi dengan kebijakan-kebijakan yang tidak memberatkan secara ekonomi. "Mereka yang naik motor itu kan yang naik kelas dari naik sepeda beralih ke motor. Seharusnya tidak dibedakan, tapi dilindungi," ujar mantan Sekjen PDI Perjuangan ini.
Alasan penghematan konsumsi BBM bersubsidi, menurutnya, tidak tepat. Pemerintah, dalam hal ini BP Migas, harus memikirkan cara untuk mencari cadangan minyak baru. "Selama ini masih mengandalkan sumber minyak zaman Belanda. BP Migas harus berani mencari cadangan minyak baru. Misalnya di Indonesia Timur," kata Pramono.
Kalau saya pribadi, setuju dengan ide pembuatan atau adanya transportasi massal, tapi yang bersih, nyaman, aman, dan murah. Kebijakan seperti ini bukan keputusan yang tepat. Tau apa saya soal kebijakan? Tentu saja saya tahu, karena saya adalah bagian dari masyarakat, dan saya merasakan efek dari segala kebijakan yang diputuskan pemerintah.Wallahu'alam Bisshawab.
Apalagi jika semua keputusan itu disertai rencana terselubung, untuk memudahkan SPBU asing masuk ke Indonesia. Indonesia negara kaya SDA, tapi kenapa harus impor segala macam. Hingga akhirnya harus keluar dari keanggotaan OPEC. Sungguh menyedihkan. Jika hal seperti ini dibiarkan, maka dipastikan Indonesia akan jalan di tempat. sedangkan Negara lain yang memiliki investasi bebas menjajah tempat kita. Jika begitu, jangan salahkan rakyat yang memberontak, bukan rakyat yang sulit diatur, tetapi pemerintah yang membuat peraturan yang tidak mungkin diterapkan...
Yang menjadi masalah disini adalah pemerintah membuat keputusan atas pertimbangan dengan membandingkan harga pokok BBM dibandingkan dengan Harga BBM Internasional, bukan dengan pemasukan dari produksi. Padahal Negara-negara seperti China, India, Brazil dan Russia masih memberikan kebijakan subsidi BBM kepada rakyatnya, dan ini yang menjadikan mereka tetap berkembang.
Ada kemungkinan dengan dibatasinya penggunaan premium bagi pengguna sepeda motor dan mobil pribadi, maka cepat atau lambat harga premium akan dinaikkan hingga mendekati atau sampai dengan harga BBM Internasional. Masalahnya, jika negara kita seperti China atau Jepang yang tidak mempunyai tambang minyak sendiri maka hal itu wajar, tetapi, kita sebagai produsen minyak, haruskah menyamakan dengan harga Internasional? Bukannya memberikan keringanan kepada rakyatnya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saran dan kritiknya sangat diharapkan