Sabtu, 28 Mei 2011

Penjual Kayu Bakar itu Diterima di ITB

JARUM jam menunjukkan pukul 15.00 WIB, Minggu (22/11), saat Singgalang bertandang ke rumah sederhana milik keluarga Yudi April Nando, 19, anak hebat SMA 1 Pariaman peraih nilai tertinggi UN IPA SMA 2011. Rumahnya di Korong Buluah Kasok, Nagari Sungai Sariak, Padang Pariaman.
Rumah itu amat sederhana, sesederhana anak hebat yang tinggal di dalamnya. Dinding rumah diplester seadanya. Waktu gempa, rumah ini mengalami kerusakan parah. Halaman ditumbuhi gulma panjang sejengkal. Di salah satu sudut tampak seonggok biji cokelat (kakao) sedang dijemur.
Singgalang mengetok pintu rumah sederhana itu. Ingin bertemu si anak hebat yang tinggal di sini. Setelah beberapa kali diketok, muncul sosok pemuda tinggi jangkung. Lalu ia bertanya.
“Cari sia da?
“Mancari Yudi April Nando...,”
“Ambo Yudi, ado apo da?” Jawab si jangkung itu.
Setelah memperkenalkan diri, pintu rumah pun dibukakan dan dipersilahkan masuk. Melongo saya menyaksikan rumah Yudi. Kontras benar kondisinya kalau dibandingkan dengan prestasi di bangku pendidikan. Yudi mengantongi nilai UN IPA tertinggi di Sumbar 56,20. Bahkan, dua mata pelajaran, matematika dan kimia nilainya 10 pula.
Dalam rumah tak ada kursi empuk. Ada sebuah almari usang, sebuah bofet dan sebuah meja reot untuk meletakkan makanan yang ditempatkan di sudut ruangan.
Adik perempuan Yudi, Rini bergegas membentangkan tikar pandan dan mempersilahkan duduk. Setelah itu Rini berlalu membangunkan bapaknya yang lagi tidur.

Kisah pahit
Yudi yang dari tadi terlihat bingung membuka pembicaraan. Dia bertanya.
“Apo yang bisa wak bantu da?” Tanya dia.
“Ndak do, ambo nio bacurito sae nyo, seputar prestasi Yudi raih di sekolah,”.
Yudi termangu, matanya menerawang jauh menyiratkan bahagia dan galau. Dia pun melepaskan pandangan kepada ayahnya, Ali Ninih, 60.
“Apo lo ka dimalu an, memang co iko iduik wak. Carito an se lah,” kata Ali Ninih menyuruh anaknya.
Yudi pun bercerita panjang tentang keluarga dan kelangsungan pendidikannya hingga akhirnya bisa meraih nilai tertinggi UN IPA di Sumbar. Sesekali matanya terlihat berbinar menahan air mata.
“Antah lah da, semangat jo keyakinan se nan mambuek wak bisa rajin dan tekun sikola nyo,” tutur Yudi.
Panjang dan pahit lika-liku hidup yang dijalani anak hebat ini untuk bisa sekolah. Tak sedikit tetangga yang mencibir, mencimeehnya.
“Sikola yang dituruik an, iduik keluarga, untuak makan se payah,” cibir tetangga suatu waktu.
Tapi cimeeh itu dijadikan semangat oleh Yudi untuk berbuat lebih. Yudi ingin membuktikan, kalau cimeeh itu tak selamanya benar.
Ayah Yudi, Ali Ninih menceritakan, sebenarnya hatinya iba melihat Yudi. Iba tak bisa berbuat banyak mendukung biaya sekolah. Kadang-kadang untuk ongkos pergi sekolah Yudi, Ali Ninih tak jarang meminjam uang kepada tetangga. Utang kemudian ditutupi dengan kayu bakar yang ia cari di hutan.
Begitulah setiap hari, gali lubang, tutup lubang.
Melihat kondisi orangtuanya seperti itu, Yudi sebenarnya tak tega. Tapi, di sisi lain, dia ingin juga mengejar cita-citanya menjadi dosen atau ahli ilmu teknologi (IT).
Demi cita-cita itu pula, Yudi turun tangan membantu orangtuanya mencari kayu api ke hutan, atau mengambil upah mengerjakan sawah orang.
Kayu bakar yang dicari dijual ke sebuah rumah makan di dekat tempat tinggalnya Rp4.000 per ikat. Sekali ke hutan, dia dan ayahnya bisa mengumpulkan empat hingga lima ikat kayu bakar. Uang penjualan kayu bakar dipakai Yudi untuk ongkos dan belanja ke sekolah. Sisanya untuk bayar hutang dan makan.
“Kalau lah pai we e ka rimbo jo apak mancari kayu, ibo hati apak dek e. Tapi, semangat we e yo sabana kuat untuk sikola. Pai ka rimbo, we e mambaok buku juo. Panek mengumpua an kayu, inyo mambaco. Kayu takumpua, inyo nan mambaok kayu jo garobak pulang. Hampia tiok hari sarupo itu,” kata Ali Ninih.

Diterima di ITB
Buah pahit, kalau yakin bisa jadi obat. Begitu pula dengan Yudi. Pahitnya kehidupan yang dijalani ternyata berbuah manis. Sejak SD hingga SMA, Yudi selalu meraih rengking 1 di kelas. Kini, dia diundang pula untuk kuliah di ITB.
Karena prestasinya itu pula, pelbagai beasiswa bisa dia dapat untuk kelangsungan pendidikan. Bahkan, karena terenyuh melihat kondisi keluarga dan prestasi akademiknya yang luar biasa, seorang pejabat di lingkungan Pemkab Padang Pariaman berkenaan jadi donatur. Selama di SMA, Yudi diberi bantuan uang tunai tiap bulan oleh pejabat tersebut.
Setelah lulus UN, Yudi tercatat salah satu dari puluhan siswa SMA 1 Pariaman yang berkesempatan menerima tawaran dari pemerintah untuk kuliah di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) ternama di Indonesia. SNMPTN jalur undangan beda dengan PMDK. SNMPTN jalur undangan, siswa penerima dibebaskan memilih PTN favorit.
Yudi memilih ITB, kampus yang selama ini jadi cita-citanya untuk kuliah. Di ITB dia mengambil Sekolah Teknik Elektronika dan Informatika (STEI). Di ITB fakultas atau sekolah, rupanya sama. Selama ini dia bercita-cita ingin sekali menjadi dosen atau ahli TI. Kini, langkah menuju cita-cita itu sudah di depan mata Yudi.
Untuk kuliah di ITB, semua sudah ditanggung negara. Untuk keberangkatan ke Bandung mendaftar, telah ada pula donatur yang mengupayakan keberangkatan. Rencananya, Yudi dan istri pejabat yang jadi donaturnya sejak SMA itu akan berangkat ke Bandung, Jumat (27/5). Batas akhir mendaftar di ITB, Selasa (31/5).
Kini yang jadi kerisauan bagi Yudi, setelah kuliah nanti, ia membutuhkan biaya beli buku dan biaya lainnya. Jumlahnya pasti banyak dan tak akan bisa diharapkan kepada keluarga.
Yudi berharap, ke depan ada orang baik untuk membantunya. Dia sendiri akan berusaha mengumpulkan uang dengan bekerja, apapun itu nantinya.
Yudi si penjual kayu bakar nan hebat itu membuktikan pada dunia, kalau kemiskinan tak bisa menghalangi keinginan untuk mengejar cita-cita.
Dinding tinggi dan sekat tebal itu dia runtuhkan dengan semangat, keyakinan dan ketekunan belajar. Bagi dia, uang bukan segala-segalanya dalam mengejar cita-cita. Orang miskin juga bisa sukses. (*)

Semoga sukses dan berhasil di sana serta menjadi orang yang berguna baginusa dan bangsa...


Jumat, 27 Mei 2011

Penembak Polisi Palu Mengaku Pejuang Islam

Nurhayana menangis di peti jenazah anaknya, Bripda Andi Ibrar Prawiro salah satu korban penembakan di Palu, Sulawesi Tengah, saat tiba di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. TEMPO/Iqbal Lubis

TEMPO Interaktif, Palu - Dua penembak anggota Kepolisian Resor Palu, Sulawesi Tengah, yang telah diringkus mengaku sebagai pejuang Islam. “Dia sampaikan kepada kami bahwa dirinya pejuang Islam,” kata anggota Polres Palu yang ikut dalam penangkapan pelaku bernama Rafli alias Furgan dan Ardianto alias Anto itu, Kamis 26 Mei 2011.

Para pelaku juga menyebutkan mereka merupakan anggota kelompok garis keras di wilayah Sulawesi Tengah. “Target operasi mereka adalah anggota polisi,” kata polisi yang tidak mau disebut namanya itu.

Rafli dan Adianto menembak tiga anggota Polres Palu yang berjaga di kantor Bank Central Asia, Jalan Amy Saelan, Palu Selatan, Rabu, 25 Meri 2011. Pada kejadian itu, Brigadir Dua Januar Yudhistira Pranata dan Brigadir Dua Andi Irbar Prawira tewas diberondong peluru. Adapun Brigadir Kepala Dedy Edward Undusten terluka di bagian paha.

Selain menangkap kedua pelaku, polisi telah menemukan tiga pucuk senjata laras panjang yang mereka gunakan. Polisi pun menyita dua unit sepeda motor yang dipakai pelaku. Semua barang bukti disimpan di markas Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah. Menurut rencana, pukul 14.00 hari ini Polda Sulawesi akan memberi keterangan kepada pers.

Inovasi Dodol Garut Raih Penghargaan di Italia


coklat dodol/...
Milan - Satu lagi usaha mikro lokal memberikan kebanggaan bagi Indonesia, kini giliran produk dodol Garut olahan  Kiki Gumelar, yang diinovasikan dengan coklat dan berbagai buah-buahan lain. Dodol inovatif ini meraih penghargaan Produk Niche dalam pameran makanan internasional Tutto Food di Milan, Italia.
 
Produk Niche merupakan produk makanan yang melestarikan tradisi makanan lokal namun dikemas dengan sentuhan khas dan inovasi sehingga dapat diterima pasar dan mampu menyangga dan mendorong ekonomi masyarakat setempat.
 
Kiki merupakan seorang pengusaha muda yang mendirikan perusahaan skala kecil dan menengah dengan nama UD Cokelat yang berfokus pada makanan tradisonal dodol dan mengolahnya dengan tambahan material cokelat. Beberapa produknya tampil dalam kemasan tradisional bambu yang populer disebut ‘besek’, boboko (bakul) atau tas mini wanita. Dua labelnya yaitu Chocodot rasa original dan rasa apel berhasil memperoleh penghargaan bergengsi tersebut.
 
Wakil Kepala International Trade Promotion Center (ITPC) Milan Indah Dwiadni, dalam siaran persnya menyatakan penghargaan ini diharapkan mampu memberikan nilai tambah bagi produk lokal dalam menghadapi persaingan pasar dan berinovasi sekaligus melestarikan makanan tradisional. 
 
Berbagai produk lokal yang dipamerkan dalam ITPC mendapat respon positif dari pengunjung pameran yang sebagaian besar merupakan kalangan pebisnis dari bidang retail skala besar, super market, agen, hotel, restoran, café dan juga masyarakat umum.
 
Seperti ditulis dalam siaran pers, pengunjung Italia mengatakan apresiasinya atas kemampuan produsen Indonesia yang mampu mengolah minuman kopi yang diolah dalam berbagai macam rasa yang inovatif, ikan siap saji yang sangat lezat, sambal dan mie instant yang lezat serta cokelat tradisional yang dikemas apik dan menarik.
 
Pada pameran ini tercatat pengunjung mencapai angka lebih dari 300.000 yang datang dari berbagai negara dari lima benua.
 
Pada kesempatan tersebut terdapat setidaknya 40 pebisnis dari berbagai sektor produk marana yang menyatakan tertarik untuk melakukan kontak dan hubungan dagang dengan berbagai produk asal Indonesia, sebab saat ini pasar Eropa mulai membuka diri terhadap makanan yang dihasilkan negara lain.
 
“Globalisasi, terbukanya arus informasi dan makin banyaknya pendatang baru dari Asia, Afrika dan Amerika latin  yang tingal di kawasan Eropa, membuat permintaan pasar terhadap produk makanan eksotis termasuk dari Asia menjadi semakin meningkat. Oleh karena itu sangat baik bila Indonesia yang memiliki sumber daya bahan baku dan bumbu masakan untuk dapat aktif berpartisipasi untuk memperkaya khazanah pasar global di Eropa,” demikian dikatakan Direktur ACSAN European Investment Consulting Sophie Shelkoff.
 
1 HARAPAN SAYA, SEMOGA TIDAK DIKLAIM OLEH MALAYSIA

Wani Piro,,,!!! Kalo mau jadi sarjana, harus ada 40 Juta minimal

KOMPAS.com — "Maafkan aku, Nak, ya. Urungkan niatmu untuk menjadi sarjana. Ayah tidak sanggup menyediakan uang sebesar itu dalam waktu sekejap."

Kata itu mungkin yang sering muncul dari seorang ayah yang anaknya diterima menjadi mahasiswa jalur undangan perguruan tinggi negeri (PTN). Dulu, jalur ini dikenal dengan penelusuran minat dan kemampuan, atau kerap disingkat PMDK.

Bagaimana tidak, seorang teman di Facebook, Coen Husain Pontoh, menuliskan keluh kesahnya di statusnya. "Keponakan saya keterima di salah satu universitas terkemuka di Pulau Jawa melalui jalur "undangan". Tapi, untuk bisa masuk kuliah, ia pertama kali harus bayar Rp 40 juta kontan," tulisnya.

"Kampusnya terkenal sebagai kampus rakyat, namanya: Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta," tulisnya

Bayangkan, orangtua yang gajinya di atas upah minimum, katakanlah Rp 2,5 juta per bulan, belum tentu bisa menyediakan uang sebesar itu dalam waktu singkat. Kecuali, kalau orangtua itu nyambi korupsi tentunya. Padahal, upah minimum seorang buruh atau karyawan/karyawati di Jakarta berkisar Rp 1,2 juta.

Pada situs Pemprov DKI Jakarta tertanggal 29 November 2010 diberitakan bahwa upah minimum DKI Jakarta (UMP/UMR DKI Jakarta) tahun 2011 ditetapkan sebesar Rp 1.290.000 per bulan per orang. Apa ini artinya? Artinya, jika kita anak seorang buruh yang gajinya sesuai dengan upah minimum atau dua kalinya upah minimum yang ditetapkan pemerintah, kita dilarang untuk menjadi mahasiswa.

Kampus hanya untuk orang kaya. Orang miskin dilarang masuk kampus untuk belajar. Yang boleh belajar di kampus adalah orang-orang kaya. Sementara jika pendidikan tinggi adalah salah satu pintu masuk untuk mengubah kehidupan agar lebih baik, pintu itu sekarang sudah perlahan-lahan ditutup.

Yang kaya makin kaya dan yang miskin tetaplah miskin. Tak peduli di negeri yang mengklaim berdasarkan Pancasila, yang berdasarkan Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial. Yang jelas di negeri ini anak orang miskin silakan minggir dari pendidikan tinggi.

"Salah sendiri lu miskin, orang miskin, enyah aja lu".

Mungkin, itu kata-kata yang muncul di pikiran, hati, dan lisan para petinggi negeri ini, yang membiarkan komersialisasi pendidikan semakin menggila.

Nak, urungkan niatmu jadi sarjana ya….

Sudah jangan menangis terus, Nak….

Mungkin kita hidup di negeri yang salah.…

Di negeri yang menganggap orang-orang miskin hanya sekadar angka, bukan warga negara….
sumber : kompas
 Parah Lah,,,

About Me

Andre Tauladan adalah blog untuk berbagi informasi umum. Terkadang di sini membahas topik agama, politik, sosial, pendidikan, atau teknologi. Selain Andre Tauladan, ada juga blog khusus untuk berbagi seputar kehidupan saya di Jurnalnya Andre, dan blog khusus untuk copas yaitu di Kumpulan Tulisan.

Streaming Radio Ahlussunnah

Today's Story

Dari setiap kejadian di akhir zaman, akan semakin nampak mana orang-orang yang lurus dan mana yang menyimpang. Akan terlihat pula mana orang mu'min dan mana yang munafiq. Mana yang memiliki permusuhan dengan orang kafir dan mana yang berkasihsayang dengan mereka.
© Andre Tauladan All rights reserved | Theme Designed by Seo Blogger Templates