Oleh: Abu Mujahidah Al-Ghifari, M.E.I
Wanita dalam Islam sangat dimuliakan. Surat an-Nisa yang berarti wanita dalam al-Qur’an salah satu bukti bahwa Islam memberikan perhatian khusus untuk wanita. Secara umum hukum-hukum di dalam Islam untuk orang-orang beriman, baik laki-laki maupun wanita. Jika terdapat hukum khusus untuk laki-laki atau wanita maka Islam telah memberikan penjelasannya. Salah satu kekhususan wanita dan memiliki hukum khusus adalah haidh.
Diantara hukum terkait dengan haidh adalah hukum berdiam di dalam masjid ketika sedang haidh. Mayoritas ulama mengqiyaskan apa-apa yang dilarang bagi seorang yang junub maka dilarang pula bagi yang sedang haidh.
Alloh Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 43:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian sholat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kalian mandi.” (QS. al-Nisa: 43)
Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang junub diharamkan berdiam di dalam masjid hingga dia mandi dari junubnya kecuali jika sekedar melewatinya. An-Nawawi rohimahulloh berkata dalam kitab minhaj at-Tholibin, “Diharamkan bagi haidh apa-apa yang diharamkan bagi junub.” Ibn Qudamah rohimahulloh berkata dalam kitab al-Mughni, “
Dilarang berdiam di dalam masjid dan thawaf di ka’bah karena haidh satu makna dengan junub.” Jadi, ulama yang berpendapat melarang wanita haidh berdiam di dalam masjid karena meng-qiyaskan haidh dengan junub.
Dalil lain yang digunakan oleh ulama yang melarang wanita haidh berdiam di dalam masjid adalah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab sunannya:
Dari Aisyah rodhiallahu anha, beliau berkata bahwa Rosulalloh shollallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya saya tidak halalkan masjid bagi wanita haidh dan orang junub.” (HR. Abu Dawud No.232)
Hadits di atas didho’ifkan oleh al-Bani rohimahulloh dalam kitab Dho’if Sunan Abu Dawud dan dalam Irwa al-Gholil No.193. Sebab dho’ifnya hadits ini adalah karena di dalam sanadnya terdapat Jasrah ibn Dijajah yang didho’ifkan oleh al-Bukhori dan al-Bahaqi memberikan isyarat akan kedho’ifannya. Al-Baihaqi rohimahulloh berkata, “Dan hadits ini jika shahih maka diterapkan pada junub yang berdiam di dalam masjid bukan lewat dengan landasan dalil al-Qur’an.” (Irwa al-Gholil al-Bani, hlm.210)
Al-Kasani rohimahulloh seorang ulama mazhab Hanafi menjelaskan hukum yang dilarang bagi wanita haidh dan nifas, beliau berkata, “Adapun hukum haidh dan nifas yaitu tidak diperbolehkan shalat, puasa, membaca al-Qur’an, memegang mushaf kecuali dengan sampul, masuk masjid dan thawaf di ka’bah.” (Bada’i al-Shana’i 1/163)
Ibn Rusd rohimahulloh seorang ulama mazhab Maliki dalam kitab Bidayah al-Mujtahid yang membahas fikih lintas mazhab, beliau menjelaskan bahwa perselisihan pendapat ulama terkait hukum berdiam di masjid bagi wanita haidh sama dengan orang yang junub: Ada yang mengharamkan secara mutlak yaitu mazhab Malik. Ada juga yang melarang kecuali hanya lewat saja yaitu mazhab al-Syafi’i. Dan ada juga yang membolehkan semuanya baik diam maupun lewat yaitu mazhab Dawud. (Lihat, Bidayah al-Mujtahid, hlm.57-58)
Dalam kitab fikih Asy-Syafi’i disebutkan bahwa apa-apa yang diharamkan bagi orang junub diharamkan pula bagi wanita haidh. Maka, hukum berdiam di dalam masjid tidak dibolehkan bagi wanita haidh. Hanya saja ulama mazhab Syafi’i berbeda pendapat bagi wanita haidh yang aman dari mengotori masjid seperti menggunakan pembalut dibolehkan atau tidak melewati masjid. Yang tepat adalah dibolehkannya melewati masjid jika aman sebagaimana junub boleh jika sekedar lewat. Dan jika tidak aman yaitu akan mengotori masjid maka diharamkan. (Lihat al-Siraj al-Wahaj Hlm.34 dan Kifayah al-Akhyar 1/114)
Muhammad ibn al-Khotib al-Syarbini rohimahulloh menjelaskan alasan diharamkannya wanita haidh melewati masjid jika dikhawatirkan mengotori masjid, beliau berkata:
Sebagai bentuk penjagaan masjid dari najis. Dan jika aman maka boleh baginya melewati masjid sebagaimana orang junub, akan tetapi hukumnya makruh sebagaimana dalam kitab al-Majmu. (Mughni al-Muhtaj 1/153-154)
Beliau juga menjelaskan hukum tersebut sama pada setiap yang dikhawatirkan najisnya seperti bagi orang yang sedang tertimpa penyakit beser, istihadhoh dan orang yang sandalnya terkena najis basah.
Al-Ghozali rohimahulloh berpendapat bahwa berdiam di dalam masjid hukumnya haram, sedangkan jika sekedar melewati maka dibolehkan jika aman dari mengotori masjid. (al-Wajiz fi Fiqhi Mazhab al-Imam al-Syafii, Hlm.23)
Muhammad Az-Zuhri al-Ghomrowi rohimahulloh berkata, “Diharamkan melewati masjid jika dikhawatirkan mengotorinya. Yaitu darah haidh yang mengenainya. Jika tidak dikhawatirkan maka dibolehkan baginya melewati masjid sebagaimana junub.” (Umdah al-Salik Hlm.45)
Dari penuturan ulama mazhab Asy-Syafi’i, dapat disimpulkan bahwa berdiam di dalam masjid di haramkan. Sedangkan jika sekedar melewatinya dibolehkan jika aman dari kemungkinan terjatuhnya darah haidh, dan jika tidak aman maka diharamkan.
Dalam kitab fikih Hambali al-Uddah syarh al-Umdah disebutkan bahwa ada sepuluh yang tidak diperbolehkan bagi wanita haidh, salah satunya adalah berdiam di dalam masjid. Ibn Qudamah rohimahulloh menerangkan dalam kitab al-Mughni bahwa orang junub, haidh dan orang yang selalu berhadats tidak diperkenankan berdiam di dalam masjid. Akan tetapi diperbolehkan melewati masjid untuk suatu keperluan seperti hendak mengambil sesuatu atau memang jalan yang harus dilewati adalah masjid.
Muhammad ibn Sholih al-Utsaimin rohimahulloh berkata:
Seorang wanita yang haidh tidak boleh berdiam di dalam masjid. Adapun sekedar melewati masjid maka tidak mengapa dengan syarat aman dari mengotori masjid disebabkan darah yang keluar.” (Majmu Fatawa wa Rosa’il 1/273)
Dari pemaparan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa jumhur ulama ahli fikih mengharamkan berdiam di dalam masjid bagi wanita haidh sebagaimana diharamkan bagi seorang yang junub kecuali jika hanya sekedar lewat. Diantara ulama salaf yang membolehkan melewati masjid untuk suatu kebutuhan adalah ibn Mas’ud, ibn Abbas, ibn al-Musayyab, ibn Jubair, al-Hasan, Malik dan al-Syafii rahimahumullah.
Sebagian ulama yang lain seperti Abu Muhammad ibn Hazm rohimahulloh dan Dawud rohimahulloh membolehkan bagi wanita haidh berdiam di dalam masjid. Musthofa al-Adawi seorang ulama kotemporer memperkuat pendapat ini dengan alasan tidak adanya dalil shahih yang
melarang wanita haidh masuk masjid dan tidak diterimanya qiyas haidh dengan junub karena orang yang junub bisa bersuci kapan saja yang dia kehendaki, sedangkan wanita haidh tidak bisa. (Jami Ahkam al-Nisa, hlm.45-51)
Dengan demikian, maka masalah ini memang masalah yang diperselisihkan oleh ulama, dan
jumhur ulama mengharamkan wanita haidh berdiam di dalam masjid. Adapun, yang lebih selamat adalah tidak duduk-duduk di dalam masjid bagi wanita haidh sebagai bentuk kehati-hatian dan keluar dari perselisihan pendapat. Jika memang ada kebutuhan seperti menghadiri kajian maka sepertinya cukup di luar masjid seperti di teras karena sekarang sudah terdapat sound system yang bisa mengantarkan suara terdengar dari luar masjid.
Allohu Ta’ala A’lam
Andre Tauladan |
Fajrifm