Kamis, 03 April 2014

Antara 'Ngarab' dan Islam (respon atas pernyataan Gus Dur)


Ngha!
Saat ini minat menulis saya masih bertujuan untuk mengkritik. Sekarang giliran Gus Dur yang saya kritik. Tapi sebelumnya, saya sampaikan lagi bahwa alasan saya mengkritik seseorang bukan karena ketidaksukaan saya kepada orang itu, melainkan karena ketidaksukaan saya terhadap pernyataannya. Kemarin saya menuliskan kritik kepada Aa Gym berkaitan dengan analogi tukang parkirnya. Kali ini, yang saya kritik dari Gus Dur adalah pernyataannya tentang 'Ngarab' atau arabisasi.

Gus Dur adalah tokoh besar di kalangan NU. Gus Dur juga punya banyak pemikiran-pemikiran yang sangat berpengaruh terhadap orang-orang NU, pluralis, dan liberalis. Oleh karena itu setiap pernyataan Gus Dur biasanya dengan mudah akan diiyakan oleh para pengikutnya. Namun, karena saya bukan orang NU, bukan pluralis, bukan juga liberalis jadi saya tidak mudah terpengaruh oleh pemikirannya. Misalnya tentang pernyataan arabisasi-nya.

Gus Dur menyampaikan "Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk 'aku' jadi 'ana', 'sampeyan' jadi 'antum', 'sedulur' jadi 'akhi',... Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya, tapi bukan budaya Arabnya." Tidak ada yang salah dalam pernyataan ini hanya saja saya khawatir jika kata-katanya dipahami saklek oleh pengikutnya. Bisa jadi kebudayaan leluhur seperti animisme atau kejawen akan lebih diutamakan oleh orang Jawa daripada budaya Islam. Setahu saya masyarakat umum masih banyak yang belum tahu mana yang budaya Islam dan mana yang budaya Arab. Contohnya, masih banyak yang menganggap kewajiban memakai kerudung bagi wanita adalah budaya Arab, padahal bagi orang Arab kerudung itu bukan kewajiban. Memakai kerudung adalah budaya Arab, tetapi juga kewajiban bagi muslimah. Jadi, walaupun suatu saat wanita Arab nanti semuanya tidak berkerudung, itu tidak akan menghilangkan kewajiban muslimah untuk berkerudung.

Hal lain yang saya khawatirkan adalah pernyataan Gus Dur akan mengurangi semangat orang-orang untuk belajar bahasa Arab. Bahasa Arab adalah bahasa Al Qur'an. Saat ini fenomena yang terjadi di masyarakat adalah kurangnya minat belajar bahasa Arab. Malah ada sebagian masyarakat yang suka mengejek bahasa Arab dengan sebutan 'bahasa unta', 'bahasa tukang obat pinggir jalan', dan sebagainya. Sehingga yang terjadi adalah ketika seseorang melakukan shalat, mengaji, ataupun berdoa yang diucapkan tidak ada esensinya. Salah satu contoh akibat dari ketidaktahuan tentang bahasa Arab adalah dalam mengamini suatu do'a banyak orang yang mengucapkan 'amiin' sebelum doa selesai diucapkan. Misalnya ketika dibacakan doa nabi Adam A.S. di akhir suatu tausyiah, ketika ustadz baru membaca "rabbanaa" sudah ada jama'ah yang mengucapkan 'amiin', dilanjut 'zhalamnaa' kembali mengucapkan 'amiin' dan seterusnya di setiap potongan doa yang dibacakan ustadz banyak jama'ah yang langsung mengucapkan 'amiin'. Dalam pengucapan 'amiin' juga banyak yang salah, ucapan yang benar adalah 'aamiin', kesalahan-kesalahan ini terjadi karena ketidaktahuan mereka. Nah, jika masyarakat memahami apa yang disampaikan Gus Dur sebagai pernyataan bahwa kita jangan mempelajari bahasa Arab, maka kemungkinan besar masyarakat akan selalu salah dalam mengucapkan doa, bacaan shalat, ngaji, dan sebagainya.
"Pak, do'a yang bapak ucapkan barusan artinya apa pak?" tanya seorang anak.
"Ah, jangan banyak tanya, yang penting berdo'a, toh dari jaman nenek moyang juga begitu walaupun tidak tahu artinya" jawab bapaknya. 
*mungkin akan seperti itu jika kita hanya mengikuti apa kata leluhur tanpa belajar. 
Saya pribadi memahami apa yang dikatakan Gus Dur sebagai pernyataan bahwa kita belajar bahasa Arab tidak untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Hampir sama, kita belajar bahasa Inggris pun tidak untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan bahasa yang dipelajari itu bisa digunakan sesuai situasi dan kondisi. So, jangan parno belajar bahasa Arab, kita kan sehari-hari melakukan shalat, dalam shalat kita nggak mungkin pakai bahasa Jawa. Iya kan???
Andre Tauladan

Selasa, 01 April 2014

Jangan Seperti Tukang Parkir

link tweet https://twitter.com/aagym/status/110639476916760577
Setiap kehilangan bukan tanggung jawab kami
Aa Gym sering menyampaikan dalam berbagai kesempatan bahw kita bisa belajar dari tukang parkir. Karena mereka nggak pernah sedih ketika mobil-mobilnya pergi. Mereka juga tidak sombong dengan banyak kendaraan. Mereka tidak takabur walaupun sering ganti kendaraan. Itu semua karena mereka yakin bahwa segalanya hanya titipan.

Dulu, saya cuma iya-iya saja. Saya cuma manggut-manggut sebagai tanda bahwa saya sepakat. Dulu saya tidak punya kendaraan sendiri, jadi tidak terlalu tahu bagaimana kondisi dunia perparkiran. Tapi sekarang saya mengalaminya dan tahu bagaimana kondisi dunia perparkiran. Sekarang saya tidak lagi sepakat dengan Aa. Ini bukan karena saya tidak suka Aa, tapi saya hanya ingin mengoreksi saja. Mengoreksi orang lain itu memang menyenangkan, walaupun saya sendiri tidak suka dikoreksi oleh orang yang tidak saya suka. Saya memang hobi mengkritik, kali ini giliran Aa yang mendapat kritik dari saya. No offense ya a.. :)

Kalimat yang saya kutip di awal postingan ini adalah kalimat yang umum tertulis pada tiket parkir. Walaupun pada beberapa tiket parkir yang lain terdapat kalimat yang berbeda tapi intinya sama saja, yaitu mereka tidak akan bertanggungjawab atas segala kehilangan atau kerusakan pada kendaraan kita. Itu artinya mereka tidak memiliki sifat amanah. Hal lain yang membuat saya berpendapat jangan seperti tukang parkir adalah karena mereka itu selalu meminta bayaran. Tentu saja mereka tidak akan sedih ketika mobil-mobil itu diambil sampai habis karena mereka mendapat bayaran. Jadi mereka itu bukan orang ikhlas. Malah, ada beberapa parkiran yang tidak friendly. Ada tukang parkir yang memberi gratis kepada orang yang dikenalnya, ini adalah tindakan nepotisme. Ada juga beberapa parkiran yang memberatkan orang yang parkir. Misalnya mereka tidak terima dikasih sedikit, mereka punya patokan sendiri. Yang lebih parah lagi adalah parkiran yang memberikan tenggang waktu, jika melebihi batas yang ditentukan maka akan ditambah beban biayanya. Sifat lain dari tukang parkir yang seperti ini adalah mereka ingin untung sendiri. Mereka tidak bertanggung jawab atas kehilangan kendaraan kita tetapi jika kita kehilangan tiket parkir kita harus membayar lebih.

Kesimpulannya, tukang parkir itu tidak amanah, hanya bisa meminta, tidak mau memberi, rakus, dan ingin untung sendiri.

Sebagai makhluk, kita harus tahu diri. Pesan yang disampaikan oleh Aa memang baik. Kita harus sadar bahwa harya yang saat ini ada pada kita hanyalah titipan sehingga ketika kehilangan kita tidak akan merasa sedih. Kita harus menjadi manusia yang memiliki sifat amanah. Sifat ini harus disertai dengan sikap syukur. Orang yang bersyukur akan menggunakan apa yang dimilikinya di jalan Allah. Orang yang amanah dan bersyukur, akan menggunakan hartanya untuk kebaikan tapi ketika kehilangan ia tidak akan merasa sedih.

Ah... buntu. Segini aja deh tulisan saya kali ini. Intinya, saya setuju dengan pesan yang disampaikan Aa, tapi nggak sepakat dengan analoginya. Saya sendiri tidak tah analogi yang tepat. Ada pendapat?

Andre Tauladan

About Me

Andre Tauladan adalah blog untuk berbagi informasi umum. Terkadang di sini membahas topik agama, politik, sosial, pendidikan, atau teknologi. Selain Andre Tauladan, ada juga blog khusus untuk berbagi seputar kehidupan saya di Jurnalnya Andre, dan blog khusus untuk copas yaitu di Kumpulan Tulisan.

Streaming Radio Ahlussunnah

Today's Story

Dari setiap kejadian di akhir zaman, akan semakin nampak mana orang-orang yang lurus dan mana yang menyimpang. Akan terlihat pula mana orang mu'min dan mana yang munafiq. Mana yang memiliki permusuhan dengan orang kafir dan mana yang berkasihsayang dengan mereka.
© Andre Tauladan All rights reserved | Theme Designed by Seo Blogger Templates