Jujur, aku sangat merindukan kedatanganmu. Aku dan banyak muslim lainnya. Bahkan sejak beberapa bulan sebelum kedatanganmu kami sudah mempersiapkan diri. Di saat banyak orang lain yang merasa gelisah takut engkau menyusahkan mereka, kami sejak awal tahu bahwa engkau justru akan membawa kebaikan bagi kami.
Akhirnya engkau datang. Kabar gembira pertama yang engkau sampaikan adalah khilafah telah tegak kembali. Di samping malam-malam mulia dengan tarawih dan tadarus, dan keutamaan lainnya ketika engkau hadir, kau datang dengan berita spesial. Walaupun engkau hadir di tengah ramainya sambutan terhadap piala dunia, tapi aku lebih mencintaimu. Engkau tidak hanya memberikan kesenangan dunia tetapi juga akhirat. Banyak orang lain yang tidak mempedulikanmu. Mereka menganggap kau hadir tapi tidak memberikan hidangan. Mereka sibuk dengan taruhan timnas mana yang akan menang. Ada juga yang sejak awal sudah berani tidak mengindahkanmu. Mereka tetap makan di siang hari.
Aku pun sedih. Di tengah kehadiranmu yang mulia, orang-orang banyak yang lebih peduli terhadap calon presiden pilihannya. Hingga akhirnya engkau pun dinodai denga sebuah pesta demokrasi. Tidak sedikit orang yang bertaruh nasib kehidupannya terhadap calon presidennya. Mereka hanya beda sedikit dengan para pejudi bola. Untuk menghormatimu, aku sobek satu surat suara. Aku lebih memilih untuk menghormatimu daripada mereka.
Di antara yang menyambut, ada saja yang salah. Engkau datang disambut dengan petasan dan kembang api. Bagiku itu sangat tidak sopan. Jika engkau datang dengan kabar pengampunan yang engkau bawa, tetapi mereka yang berdosa itu menyambutmu seperti itu, berarti mereka tidak menghormatimu. Amalan-amalan yang bid'ah pun masih mewabah di masyarakat. Di antara mereka ada yang memenuhi makam keramat. Mungkin suatu saat mereka juga akan mendatangi makam kera sakti, atau kera putih. Masih untung tidak ada yang kera sukan.
Engkau hadir tidak lama. Tapi banyak kemuliaan yang engkau bawa. Awalnya memang banyak yang menyambutmu. Tapi sepuluh hari kedua, mulai ada kemajuan dalam shaf tarawih. Sang imam pun semakin bersemangan membaca surat-surat pendek dalam shalat tarawih, buktinya kian hari kian cepat.
Tak terasa kini waktumu hampir habis. Sebentar lagi kau akan pamit. Hari-hariku akan kembali seperti biasa. Amalan sunnah dihitung sunnah, yang wajib hanya dihitung 1 wajib. Tapi di 10 hari terakhir ini sebelum kau pergi kau memiliki harta karun yang sangat berharga. Kami tidak tahu kapan datangnya malam lailatul qadr. Yang kami tahu malam itu ada di malam ganjil 10 hari terakhir. Oleh karena itu banyak di antara kami yang memburunya. Sebuah masjid di dekat kampusku tiba-tiba penuh. Dikala masjid lain semakin sepi karena ditinggal mudik, masjid ini justru didatangi oleh jamaah dari berbagai daerah.
Tapi, hatiku sering kotor. Terkadang ketika di sana banyak yang hanya tidur dan aku tadarus aku sering merasa lebih baik dari mereka. Ketika aku tadarus kemudian ada orang lain yang tadarus lebih nyaring tensi darahku naik. Apalagi jika ada orang lain yang mampu membaca lebih cepat. Hatiku juga sering kotor, ketika sedang asyik bertadarus lalu ada bunyi musik dari sebuah ponsel. Ah... aku tak tahu apakah aku bisa memanfaatkan saat-saat terakhir besamamu untuk mencari ridha Allah atau tidak.
Maaf ramadhan, aku belum bisa berbuat banyak untuk menegur orang lain atau bahkan memerangi mereka yang tidak menghargaimu. Akupun belum mampu memuliakanmu seperti yang rasulullah contohkan. Ya, sebenarnya aku sangat merindukanmu. Tapi karena tidak ada persiapan, aku hanya bisa menyuguhimu sekedarnya. Terimakasih atas kedatanganmu. Semoga dengan adanya dirimu doaku yang di hari biasa tidak terkabul nanti bisa terkabul. Tilawah, shalat, dan sedekah yang hanya sedikit bisa menjadi berlipat ganda karena ada engkau. Terakhir, aku berharap kepada Allah swt agar tahun depan aku bisa bertemu lagi denganmu. Dan semoga di saat itu aku memiliki persiapan yang matang agar kedatanganmu tidak sia-sia bagiku.
Andre Tauladan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saran dan kritiknya sangat diharapkan