Ngha!
Saat ini minat menulis saya masih bertujuan untuk mengkritik. Sekarang giliran Gus Dur yang saya kritik. Tapi sebelumnya, saya sampaikan lagi bahwa alasan saya mengkritik seseorang bukan karena ketidaksukaan saya kepada orang itu, melainkan karena ketidaksukaan saya terhadap pernyataannya. Kemarin saya menuliskan kritik kepada Aa Gym berkaitan dengan analogi tukang parkirnya. Kali ini, yang saya kritik dari Gus Dur adalah pernyataannya tentang 'Ngarab' atau arabisasi.
Gus Dur adalah tokoh besar di kalangan NU. Gus Dur juga punya banyak pemikiran-pemikiran yang sangat berpengaruh terhadap orang-orang NU, pluralis, dan liberalis. Oleh karena itu setiap pernyataan Gus Dur biasanya dengan mudah akan diiyakan oleh para pengikutnya. Namun, karena saya bukan orang NU, bukan pluralis, bukan juga liberalis jadi saya tidak mudah terpengaruh oleh pemikirannya. Misalnya tentang pernyataan arabisasi-nya.
Gus Dur menyampaikan "Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk 'aku' jadi 'ana', 'sampeyan' jadi 'antum', 'sedulur' jadi 'akhi',... Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya, tapi bukan budaya Arabnya." Tidak ada yang salah dalam pernyataan ini hanya saja saya khawatir jika kata-katanya dipahami saklek oleh pengikutnya. Bisa jadi kebudayaan leluhur seperti animisme atau kejawen akan lebih diutamakan oleh orang Jawa daripada budaya Islam. Setahu saya masyarakat umum masih banyak yang belum tahu mana yang budaya Islam dan mana yang budaya Arab. Contohnya, masih banyak yang menganggap kewajiban memakai kerudung bagi wanita adalah budaya Arab, padahal bagi orang Arab kerudung itu bukan kewajiban. Memakai kerudung adalah budaya Arab, tetapi juga kewajiban bagi muslimah. Jadi, walaupun suatu saat wanita Arab nanti semuanya tidak berkerudung, itu tidak akan menghilangkan kewajiban muslimah untuk berkerudung.
Hal lain yang saya khawatirkan adalah pernyataan Gus Dur akan mengurangi semangat orang-orang untuk belajar bahasa Arab. Bahasa Arab adalah bahasa Al Qur'an. Saat ini fenomena yang terjadi di masyarakat adalah kurangnya minat belajar bahasa Arab. Malah ada sebagian masyarakat yang suka mengejek bahasa Arab dengan sebutan 'bahasa unta', 'bahasa tukang obat pinggir jalan', dan sebagainya. Sehingga yang terjadi adalah ketika seseorang melakukan shalat, mengaji, ataupun berdoa yang diucapkan tidak ada esensinya. Salah satu contoh akibat dari ketidaktahuan tentang bahasa Arab adalah dalam mengamini suatu do'a banyak orang yang mengucapkan 'amiin' sebelum doa selesai diucapkan. Misalnya ketika dibacakan doa nabi Adam A.S. di akhir suatu tausyiah, ketika ustadz baru membaca "rabbanaa" sudah ada jama'ah yang mengucapkan 'amiin', dilanjut 'zhalamnaa' kembali mengucapkan 'amiin' dan seterusnya di setiap potongan doa yang dibacakan ustadz banyak jama'ah yang langsung mengucapkan 'amiin'. Dalam pengucapan 'amiin' juga banyak yang salah, ucapan yang benar adalah 'aamiin', kesalahan-kesalahan ini terjadi karena ketidaktahuan mereka. Nah, jika masyarakat memahami apa yang disampaikan Gus Dur sebagai pernyataan bahwa kita jangan mempelajari bahasa Arab, maka kemungkinan besar masyarakat akan selalu salah dalam mengucapkan doa, bacaan shalat, ngaji, dan sebagainya.
"Pak, do'a yang bapak ucapkan barusan artinya apa pak?" tanya seorang anak.*mungkin akan seperti itu jika kita hanya mengikuti apa kata leluhur tanpa belajar.
"Ah, jangan banyak tanya, yang penting berdo'a, toh dari jaman nenek moyang juga begitu walaupun tidak tahu artinya" jawab bapaknya.
Saya pribadi memahami apa yang dikatakan Gus Dur sebagai pernyataan bahwa kita belajar bahasa Arab tidak untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Hampir sama, kita belajar bahasa Inggris pun tidak untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan bahasa yang dipelajari itu bisa digunakan sesuai situasi dan kondisi. So, jangan parno belajar bahasa Arab, kita kan sehari-hari melakukan shalat, dalam shalat kita nggak mungkin pakai bahasa Jawa. Iya kan???
Andre Tauladan
Almarhum Gus Dur menjadi salah satu tokoh yang saya kagumi di Indonesia. Dari Almarhum Gus Dur inilah banyak sekali terobosan dan gebrakan yang dibuat demi hak asasi yang sama dan perjuangan membela kaum papa dan kaum miskin di Indonesia. Salah satu gebrakan yang saya sukai dari Gus Dur adalah reformasi dalam Birokrasi dan persamaan Hak Asasi Manusia.
BalasHapusAlmarhum juga adalah seorang Kyai pertama yang menjadi pemimpin Indonesia.
BalasHapusBeliau sangat dihormati oleh seorang peneliti dari Jepang karena pluralismenya, yang biasa disebut persamaan Hak Asasi Manusia.
Kritik yg cukup jeli dgn melihat realita yg ada.
BalasHapusSekedar melengkapi tulisan anda, saya mau menyampaikan sedikit ttg bahasa "almarhum" yg kadung sudah mjd budaya di negara kita...
Apa sbnrnya arti almarhum?
Dan bagaimana hukumnya menggunakan kata tsb..?
Silakan dibaca di :
http://www.darussalaf.or.id/fatwa-ulama-tanya-jawab/hukum-penyebutan-almarhum-atau-almarhumah-untuk-orang-yang-telah-meninggal/
wallahua'lam
semoga bermanfaat.
terimakasih atas kunjungan dan referensi tambahan yang Bung Reza lampirkan.
HapusKlo menurutku gusdur lebih menekankan pada penjagaan budaya bukan dalam konteks bahasa yg ia torehkan itu ,,,,,,,,,, jngn repot repot lah ,,,,, gtu aja kog repot
BalasHapusya, syukurlah kalo masgan berfikiran seperti itu. soalnya kebanyakan orang jadi anti arab, anti bahasa arab setelah dapet wejangan dari gusdur itu.
HapusKalau bicara tentang anti bahasa arab, buktinya Gus Dur menguasai beberapa bahasa??
BalasHapusNah yg disampaikan Gus Dur itu adalah arti lebih baik jadi diri sendiri..
"Belajarlah Mati sebelum Mati, karena setelah kita merasakan mati itu baru kita bisa merasakan nikmatnya Hidup"
Terimakasih Pak / Mas Jadidul Musthofa sudah turut berkomentar di blog sederhana ini. Saya sadar jika di tulisan ini masih ada kekurangan.
HapusMenjadi diri sendiri jelas akan lebih baik jika yang dilakukan oleh sang diri telah sesuai dengan yang diatur oleh Allah swt. Kehidupan di dunia hanya sementara jangan sampai kenikmatan hidup membuat kita justru takut mati.
Sedikit terbawa budaya (bahasa) arab itu wajar karena bagi orang yang belajar Al-Quran mau tidak mau memakai bahasa arab yang merupakan bahasa Al-quran, bahasa surga. Itu dalam konteks bahasa. Tapi dalam konteks budaya tidak harus ikut ikutan berdandan layaknya orang Arab!. Tidak harus berdandan seperti orang arab hanya supaya kita terlihat Taat Agama!. Cukup dengan berdandan dengan wajar layaknya orang indonesia. Itu sudah cukup, Yang terpenting adalah hati kita, bukan penampilan.!!!
BalasHapus